Pascagempa bumi tahun 2006, dilakukan penelitian terkait penanganan gangguan jiwa di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Sejak 2010, pelayanan kesehatan jiwa berbasis komunitas disingkat Gelimas Jiwo diterapkan. Tak kurang dari 250 pasien dirawat di rumah sendiri. Beberapa di antaranya mampu mandiri.
Nuryani (45) duduk di bangku bersama puluhan pasien lain di Puskesmas Kasihan II, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia menunggu giliran untuk pengobatan gangguan jiwa yang diderita sejak tahun 2010.
Biasanya orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) diatasi dengan pengobatan kesehatan jiwa berbasis rumah sakit atau pengobatan tradisional. Puskesmas Kasihan II memakai cara baru, yaitu pelayanan kesehatan jiwa berbasis komunitas yang diberi nama Gerakan Peduli Masyarakat Sehat Jiwa atau Gelimas Jiwo (jiwo dalam bahasa Jawa berarti jiwa).
Kompas menemui Nuryani, Rabu (19/12/2018), didampingi Penanggung Jawab Lapangan Gelimas Jiwo, Siti Mulyani, yang juga perawat di puskesmas itu. Gejala awal sakit jiwa dialami Nuryani pada tahun 2010 seusai dicerai suami. Kondisi emosinya tidak stabil. Ia sering berteriak-teriak, marah-marah, dan mengalami halusinasi.
”Saya masih mengonsumsi obat. Dua jenis obat wajib ditelan dan satu jenis lagi dikonsumsi jika susah tidur. Saya tidak tahu sampai kapan berhenti mengonsumsi obat ini,” kata Nuryani.
Akan tetapi, ia senang bisa kembali beraktivitas seperti biasa setelah hampir dua tahun terpuruk akibat penyakitnya. Kini, ia mampu mandiri dan bekerja sebagai asisten rumah tangga, yakni mencuci, menyetrika, dan mengepel rumah warga.
Kepala Puskesmas Kasihan II Elmi Yudihapsari mengatakan, jumlah pasien yang ditangani saat ini 250 orang. Mereka tersebar di dua desa, yakni Ngestiharjo dan Tirtonirmolo. Meski demikian, pasien gangguan jiwa dari wilayah lain juga dilayani.
Siti mengatakan, gangguan jiwa tidak menimbulkan kematian. ”Akan tetapi, sakit jiwa menyebabkan penderitaan panjang yang dialami penderita, keluarga, dan masyarakat, bahkan negara. Orang bersangkutan tidak produktif dan selalu bergantung pada orang lain,” ujarnya.
Melalui Gelimas Jiwo, 38 orang di antara pasien-pasien itu sudah mandiri dan bisa bekerja kembali. Ada yang menjadi asisten rumah tangga, membatik, menjahit, membuat mebel, dan pekerjaan lain sesuai kemampuan.
Berawal dari penelitian
Gelimas Jiwo bermula dari penelitian yang dilakukan dosen Program Studi (Prodi) Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Shanti Wardaningsih, pada tahun 2007.
Pada tahun 2006, gempa besar terjadi di DIY. Bantul merupakan wilayah yang paling parah terkena dampak. Ratusan ribu rumah hancur dengan korban jiwa lebih dari 4.000 orang. Walau masyarakat Bantul berhasil bangkit kembali, banyak warga yang stres, putus asa, dan kejiwaannya terganggu.
Shanti meneliti tentang pengaruh program psikoedukasi keluarga terhadap kemampuan sebuah keluarga merawat pasien gangguan jiwa. Psikoedukasi keluarga merupakan program pemberian informasi dan edukasi untuk meningkatkan kemampuan sebuah keluarga merawat pasien gangguan jiwa.
Hasil penelitian yang dilakukan di dua puskesmas di Kecamatan Kasihan, Bantul, menunjukkan bahwa psikoedukasi efektif menurunkan beban dan meningkatkan kemampuan keluarga untuk merawat pasien gangguan jiwa.
”Dengan pemberian psikoedukasi, pengetahuan keluarga untuk merawat pasien gangguan jiwa meningkat. Selain itu, beban mereka juga berkurang saat berbagi dengan sesama keluarga pasien gangguan jiwa,” kata Shanti.
Dari penelitian itu, Shanti menemukan bahwa masyarakat sekitar memiliki peran penting dalam proses perawatan pasien gangguan jiwa. ”Waktu itu, keluhan keluarga pasien gangguan jiwa adalah masyarakat tidak serta-merta menerima. Jadi, kami melihat perlunya pelibatan masyarakat,” ujarnya.
Libatkan kader
Karena itu, pada tahun 2010, Shanti melakukan kegiatan pengabdian masyarakat di Desa Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Bantul, untuk meningkatkan perekonomian pasien gangguan jiwa dan keluarganya. Kegiatan yang dibiayai dana hibah dari pemerintah itu melibatkan kader-kader kesehatan yang berasal dari masyarakat.
”Sebelumnya kader kesehatan sudah kami bekali dengan pengetahuan terkait gangguan jiwa,” kata Shanti yang sekarang menjabat Ketua Prodi Ilmu Keperawatan FKIK UMY.
Sesudah kegiatan pengabdian masyarakat selesai, terbentuklah kelompok Gelimas Jiwo yang beranggotakan para pasien gangguan jiwa, keluarga, dan kader kesehatan dari masyarakat. Kelompok itu dibentuk untuk memberi dukungan kepada para pasien gangguan jiwa dan keluarganya. ”Gelimas Jiwo merupakan empowering community (komunitas pemberdayaan). Kelompok ini terbentuk pada 2010,” kata Shanti.
Saat ini, ada beberapa kegiatan yang rutin digelar Gelimas Jiwo. Sebulan sekali, para anggota Gelimas Jiwo mengadakan pertemuan yang biasanya digelar di gedung Balai Latihan Kerja Desa Ngestiharjo. Pertemuan itu diisi sejumlah kegiatan, antara lain pemberian edukasi kepada pasien gangguan jiwa dan keluarganya.
Tambah pengetahuan
Edukasi disampaikan oleh para pakar yang didatangkan dalam pertemuan tersebut. ”Setiap datang sebulan sekali, mereka mendapat update (tambahan dan pembaruan) ilmu,” kata Shanti yang juga berprofesi sebagai perawat spesialis jiwa.
Dalam pertemuan itu, para pasien gangguan jiwa bisa berkonsultasi dengan dokter spesialis jiwa atau residen ilmu kedokteran jiwa. Residen adalah dokter yang tengah menjalani pendidikan dokter spesialis.
Kegiatan lain adalah pelatihan untuk pasien gangguan jiwa dan keluarganya guna meningkatkan kesejahteraan mereka. Pelatihan ini penting karena pasien gangguan jiwa kebanyakan berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.
”Tidak bisa dimungkiri, keluarga dan pasien gangguan jiwa mengalami beban ganda, yakni beban yang timbul dari penyakit gangguan jiwa dan beban dari lingkungan sosial,” ujar Shanti.
Selain pertemuan rutin sebulan sekali, para kader Gelimas Jiwo juga mendatangi rumah pasien gangguan jiwa dua pekan sekali. Kunjungan ini untuk memantau kondisi pasien sekaligus memberi dukungan untuk para pasien gangguan jiwa dan keluarganya.
Shanti memaparkan, penerimaan dan perlakuan yang baik dari masyarakat sangat membantu pemulihan pasien gangguan jiwa. Sebab, dengan penerimaan dan perlakuan yang baik, pasien gangguan jiwa akan merasa percaya diri.
Inovasi pengobatan kejiwaan Gelimas Jiwo perlu ditularkan ke daerah lain di Tanah Air karena masyarakat hidup di bawah berbagai ancaman bencana gunung api, gempa, tsunami, longsor, dan lain-lain. Inovasi ini berguna untuk mereka yang selamat dari bencana.