Kerja Semua untuk Harum Citarum
Tahun 2018, Presiden Joko Widodo turun langsung membenahi Citarum, sungai terpanjang di Jawa Barat, lewat program Citarum Harum. Kehadirannya diharapkan jadi jembatan kolaborasi semua pihak terkait.
Udara dingin tak menghalangi sekitar 20 warga dan anggota TNI menggali lubang dan menanam bibit jambu biji dan alpukat di antara hamparan sayuran di Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Sebanyak 5.000 bibit ditanam di lahan seluas 5 hektar itu. Meski subur bagi sayuran, lokasi itu sesungguhnya menyimpan bom waktu. Kertasari berada di daerah aliran Sungai Citarum.
Sejak lama sayuran memberi penghasilan bagi petani setempat. Namun, pola tanam di perbukitan itu rentan memicu erosi di hilir. Tanah mudah luruh, menyumbang erosi saat masuk ke badan Citarum.
Akibatnya, tubuh sungai sepanjang 297 kilometer itu menyempit dan dangkal. Saat musim hujan, Citarum jadi kambing hitam banjir yang terjadi setiap tahun sejak 1986.
”Ini masa transisi. Petani masih mengandalkan sayur sebagai penghasilan utama. Perlahan akan bergeser ke produksi buah-buahan,” kata Komandan Sektor Pembibitan Satgas Citarum Harum Letnan Kolonel Choirul Anam di Kertasari, Kamis (13/12/2018).
Menurut Choirul, pola tanam tumpang sari lebih baik untuk konservasi ketimbang hanya tanaman semusim. Saat ini, dari 8.000 hektar lahan kritis di hulu Citarum, sekitar 700 hektar sudah ditanami tanaman keras seperti kopi dan buah.
Perubahan pola tanam membutuhkan adaptasi dari petani. Oleh karena itu, petani terus mendapat bimbingan teknis penanaman tumpang sari secara berkala dari Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Jabar.
Enjang (35), petani setempat, mengatakan, butuh waktu beradaptasi. Mereka juga butuh pendampingan, mulai dari penanaman hingga panen. ”Selama ini, mayoritas petani hanya paham menanam sayur. Jadi, kami perlu tahu cara menanam buah agar produksinya maksimal,” ujar Enjang.
Meski terdengar klise, kolaborasi di Citarum tak boleh kendur. Jelang setahun program Citarum Harum, misi penyelamatan masih butuh penyempurnaan.
Hasil pendataan Komando Daerah Militer III/Siliwangi mencatat, sebanyak 662 pabrik dari sekitar 3.000 pabrik di hulu DAS Citarum belum memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Sebanyak 272 pabrik masih membenahi IPAL dan 65 pabrik sedang membangun IPAL.
Sebanyak 382 pabrik lainnya sejatinya sudah punya IPAL. Namun, belum semuanya disiplin karena masih membuang limbah ke sungai. Alasannya, karena efisiensi atau kapasitas IPAL tak memadai. Kondisi itu rentan memicu 340.000 ton limbah berbahaya digelontorkan ke Citarum setiap hari.
Langkah penyelamatan
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Karliansyah mengatakan, pengelolaan limbah di Sungai Citarum kini relatif lebih baik meski belum ideal. ”Untuk menekan biaya, pelaku industri bisa membangun IPAL komunal. Dana yang dikeluarkan bisa lebih murah,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Jabar Deddy Wijaya mengakui masih ada perusahaan tak punya IPAL. Wacana IPAL komunal belum terwujud karena kendala modal dan lahan. ”Sebaiknya pemerintah memfasilitasi IPAL komunal yang bisa dimanfaatkan beberapa pabrik dalam satu kawasan.
Hal itu sudah dilakukan di Karawang, Bekasi, dan Purwakarta. Di Kabupaten dan Kota Bandung masih terus diupayakan,” katanya.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan, tahun depan pihaknya bakal mengucurkan dana Rp 100 miliar untuk tempat penampungan sampah, pembebasan lahan guna penambahan kolam retensi, insinerator, dan tongkang pengumpul sampah.
Sejumlah upaya juga bakal dibangun Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum dengan anggaran sekitar Rp 1,3 triliun. Dana itu untuk mengeruk Citarum induk dan empat anak sungainya, yaitu Cikijing, Cimande, Cisangkuy, dan Cikeruh. Berdasarkan data BBWS Citarum, jumlah sampah yang mengendap di Citarum diperkirakan 3 juta meter kubik.
Ada pula upaya pembangunan 266 unit cekdam atau pengendali sedimentasi di Pacet dan Kertasari, Kabupaten Bandung. Hingga Desember 2018, sudah dibangun 140 unit cekdam.
Salah satu yang juga patut dinanti adalah pembuatan terowongan Nanjung. Terowongan sepanjang lebih kurang 260 meter itu bertujuan mempercepat aliran air dari Sapan hingga ke Nanjung sehingga dapat mengurangi potensi banjir di Baleendah, Bojongsoang, dan Dayeuhkolot.
Semua upaya itu diharapkan bisa mengurangi daerah luasan banjir di Bandung selatan dari 300 hektar menjadi 41 hektar. Selain itu, juga menurunkan muka air banjir sekitar 1 meter.
Peran warga
Warga juga tak tinggal diam. Pernah mendapat stigma sebagai pemicu kerusakan, peternak sapi perah di hulu Citarum bergerak lebih dulu. Salah satunya dilakukan Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS).
Sejak 2015, mereka membuat beberapa kandang komunal. Setiap kandang menampung sekitar 90 sapi dari 32 peternak. Kotoran padat sapi diolah menjadi pupuk organik dan biogas. Sementara limbah cairnya diolah dulu sebelum dibuang ke saluran yang mengalir ke sungai.
”Memang masih ada peternak yang membuang limbah langsung ke sungai. Namun, dibandingkan tiga tahun lalu, jumlahnya sudah jauh berkurang,” ujar Yusuf, peternak.
Dengan kebersihan kandang yang terjaga, Yusuf mengatakan, kualitas produksi susu ternyata semakin baik karena tingkat cemaran mikroba pada susu berkurang. Hal itu juga mendongkrak nilai jual susu.
”Misalnya, harga dasarnya Rp 3.850 per kg. Namun, karena SNF (solid nonfat) dan TS (total solid) baik, harganya bisa menjadi Rp 4.900 per kg,” ujarnya.
Koordinator Wilayah II KPBS Anung Rohana mengatakan, pihaknya terus mendorong peternak untuk memindahkan kandang dari bantaran Citarum.
”Di kandang komunal, kualitas susu lebih terjaga karena limbah diolah dengan baik, bahkan dimanfaatkan untuk pupuk. Limbah yang awalnya dibuang ke sungai kini bisa dikurangi,” ujarnya.
Peternak di Batuloceng, Kabupaten Bandung Barat, juga mengelola kotoran sapi dengan teknologi. Batuloceng berada di hulu Cikapundung, anak Citarum, yang membelah Kota Bandung.
Bersama Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, peternak mengelola kotoran sapi dengan sistem kolam lumpur dan IPAL anaerob. Hasilnya, limbah menjadi jernih dan tak berbau saat dialirkan ke sungai.
Pendamping peternak Batuloceng, Rahim Asyik, berharap banyak orang terinspirasi dengan solusi ini. Bukan hanya di Cikapundung, tetapi juga di daerah aliran sungai lainnya.
”Semakin banyak yang menerapkannya, sungai bersih dan manusia sejahtera bukan mimpi,” katanya. (Cornelius Helmy/Tatang Mulyana Sinaga/Samuel Oktora)