Libur panjang di pengujung 2018 tak selamanya disambut dengan gegap gempita. Sebagian manusia memilih jalan sunyi, berjarak dari keluarga inti. Demi hari esok yang lebih baik, mereka menimbang harapan.
Ferdinand (58) menyandarkan tubuh ringkihnya di ruang tunggu Pelabuhan Merak, Cilegon, Banten, Sabtu (22/12/2018). Kapal yang akan membawanya ke Lampung belum datang.. Satu tas sandang hitam dan sebotol air mineral. Itu saja yang ia bawa mengarungi Selat Sunda. Tak ada kesan pria Tionghoa ini akan bepergian jauh
Pandangannya nanar ketika ditanya rencana ia akan merayakan Natal 2018 ini. "Saya mau sendirian dulu," katanya singkat.
Pria dengan marga Pang ini meninggalkan istri dan dua anaknya di Cengkareng, Jakarta Barat. Ia bosan dengan Jakarta. Merayakan Natal di kota besar tidak lagi menarik minatnya. Hubungan emosional dengan sang istri sedang bermasalah.
Di usia menjelang 60, Ferdinand merasa ada egoisme yang tak bisa dikendalikan. Ia siap menghabiskan akhir tahun ini tanpa kebersamaan dengan istri dan anak. Sorot matanya mengarah ke laut jauh saat menjelaskan itu.
"Semoga saya menemukan kegembiraan dalam melanjutkan perjalanan ini. Ya, tidak semua hal bisa saya jelaskan dengan terang, biarlah ini menjadi cerita saya sendiri," tutur pria gaek yang tumbuh besar di Padang ini.
Jakarta yang bising dan terus-terusan ribut soal politik menabalkan niatnya untuk mengunjungi kawannya di desa kecil, di Lampung. Di sana, kata dia, dirinya bisa istirahat sejenak dari keriuhan kota.
Setelah dari Lampung, ia bertolak ke sejumlah kota di Sumatera. Pria delapan bersaudara ini kangen sama kota kelahiran. Di Padang, empat saudara perempuannya bermukim, sementara satu saudara laki-lakinya bermastautin di Sawahlunto dan satu lagi di Jakarta.
"Di Padang, saya tidak perlu terbebani karena tidak bisa bahasa Hokkian, Banyak Tionghoa lain yang juga tidak bisa bahasa tersebut," kata dia.
Widodo (57), juga meninggalkan lima orang anaknya pada liburan akhir tahun ini. Bahkan, ia sengaja tidak memberitahu kepergiannya kepada Halimah dan Laila Salma, dua anak perempuannya yang paling muda.
Kondisi keuangan Widodo sedang jelek. Dia khawatir tidak bisa mencukupi kebutuhan dua anak gadisnya itu selama dalam perjalanan. Selain itu, ia belum tentu kembali ke Pulau Jawa.
Secara formal, tujuannya ke Lampung Selatan adalah untuk menghadiri undangan hajatan dari saudaranya. Akan tetapi, Widodo menyimpan rencana lain. "Jika iklim pekerjaan lebih baik di sana, saya mungkin akan menetap di Lampung Selatan," kata pria yang bekerja sebagai karyawan pabrik di Serang, Banten, ini.
Selain dua anak gadisnya, tak ada hal lain yang membuatnya enggan meninggalkan Serang. Istrinya sudah berpulang tujuh tahun silam, sementara anaknya yang lain sudah mandiri.
Lepas dari segala persoalan pribaadi Widodo dan Ferdinand, memang perlu disadari bahwa harapan tidak hanya ada di Jakarta. Apalagi, berdasarkan data Kompas (11/12), jumlah desa tertinggal berkurang dari 19.750 desa pada 2014 menjadi 13.232 desa pada 2018. Ini diiringi penambahan desa mandiri yang mencapai 2.665 desa.
Salah satu pemicunya adalah kucuran dana desa yang mencapai Rp 187 triliun dalam kurun 2015-2018. Namun, tetap perlu diwaspadai karena angka pengangguran tebuka yang masih relatif tinggi, yakni 7 juta jiwa (Kompas, 6/11). Pangangguran di desa naik karena pekerjaan bidang pertanian berkurang.
Tampaknya Widodo dan Ferdinand perlu berfikir strategis dalam memilih biang pekerjaan. Jangan sampai mereka menambah jumlah penganguran.
Semoga saja mereka mendapatkan pekerjaan yang bagus sehingga dapat mengerek kesejahteraan. Siapa tahu, dengan begitu, hubungan Ferdinand dengan istrinya membaik. Juga, kelak Widodo dapat mengajak serta Halimah dan Laila Salma.
Sementara ini, biarkan kedua pria itu menimbang harapan.
(E10/E16/E17)