JAMBI, KOMPAS - Kalangan pengelola izin konsesi kehutanan di Jambi meminta negara memberi perlindungan hukum dan keamanan berinvestasi. Hal itu terkait masifnya perambahan liar diwarnai kekerasan yang mengganggu iklim investasi.
”Kami berharap pemerintah serius membantu mengatasi masalah perambahan dan tindakan kekerasan,” kata Alizar, Komisariat Daerah Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Jambi, Rabu (26/12/2018).
Menurut Alizar, dalam dua bulan terakhir terjadi sejumlah aksi perambah liar mengarah pada kekerasan. Akhir November lalu, misalnya, sekitar 300 orang menduduki kamp PT Agronusa Alam Sejahtera (AAS) di Desa Jatibaru, Kecamatan Mandiangin, Kabupaten Sarolangun.
Massa menghentikan secara paksa kegiatan operasional pekerja di lapangan, lalu menggiring alat berat perusahaan keluar dari areal kerja.
Selama pendudukan, para karyawan perusahaan diintimidasi hingga harus mengungsi ke luar. Perambah yang difasilitasi lembaga swadaya masyarakat setempat memaksa manajemen dan staf perusahaan menandatangani berita acara yang memuat keharusan penghentian operasional perusahaan sampai tuntutan mereka dipenuhi.
”Massa bahkan memaksa masuk ke dalam kantor perusahaan dan mengambil dokumendokumen penting,” kata Tonga Siahaan, Manajer Humas PT AAS.
Kejadian lain dialami oleh PT Restorasi Ekosistem Indonesia selaku pengelola restorasi ekosistem Hutan Harapan di Kabupaten Batanghari, pertengahan Desember.
Sekitar 50 orang datang ke kamp perusahaan dengan membawa senjata tajam. Mereka menyandera seorang petugas patroli hutan selama 27 jam. Korban baru dilepas setelah dilakukan negosiasi oleh kepolisian.
Head of Stakeholder Partnership and Land Stabilization Division Hutan Harapan Adam Aziz meminta aparat tegas menindak pelaku penyanderaan. Jika dibiarkan bebas, akan membuat perambahan liar semakin tak terkendali.
Alizar menyayangkan aksi-aksi anarkistis masyarakat yang hampir semuanya menuntut lahan di dalam konsesi. ”Padahal, selama ini pemegang izin hanya ingin bertanggung jawab mengelola konsesi sesuai perundang-undangan yang berlaku,” katanya.
Tindakan anarkistis, kata Alizar, seharusnya mendapat perhatian serius pemerintah dan menjadi prioritas penyelesaian. ”Perlu tindakan tegas dari pemerintah agar kejadian-kejadian seperti ini tak terulang lagi,” ujarnya.
Di Provinsi Jambi terdata 23 perusahaan kehutanan aktif. Rinciannya, dua pemegang izin hak pengusahaan hutan, 19 perusahaan hutan tanaman industri, dan dua perusahaan pemegang izin restorasi ekosistem.
Jika tidak ada kepastian hukum dan jaminan investasi, dikhawatirkan tindakan anarkistis akan memicu usaha di sektor kehutanan itu tutup. (ITA)