Alba dan Harapan Lestari di Jantung Pulau Kalimantan
Pelepasliaran Alba (6), orangutan albino, di sudut Pegunungan Schwaner, di jantung Kalimantan, menumbuhkan harapan bagi kelestarian rimba-rimba terakhir di sana.
Perjalanan membawa Alba dimulai pada Selasa (18/12/2018) dari Pusat Reintroduksi dan Rehabilitasi Orangutan Nyaru Menteng Palangkaraya milik Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) ke Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR), Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah.
Kompas mengikuti perjalanan pelepasliaran orangutan albino itu yang diklaim Yayasan BOS dan Pemerintah Indonesia sebagai satu-satunya orangutan albino yang pernah ditemukan.
Alba tak dilepasliarkan sendiri. Kika, orangutan biasa yang seusia, juga dilepasliarkan ke TNBBBR. Mereka dibius lalu dimasukkan ke kandang masing-masing untuk menempuh perjalanan darat sekitar 12 jam dari Palangkaraya ke habitat barunya.
Selama perjalanan, beberapa kali mobil berhenti untuk memeriksa kondisi kedua orangutan atau memberi mereka makanan. Kika menyantap semua makanan, sedangkan Alba lebih banyak diam sembari mengumpulkan daun-daun untuk alas tidur.
Di Desa Tumbang Tundu, Kabupaten Katingan, perjalanan dilanjutkan melalui Sungai Bemban menggunakan kelotok (perahu mesin). Tiga jam di atas kelotok, tim melewati sejumlah riam cukup deras untuk sampai ke lokasi pelepasliaran di antara Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat dan Kabupaten Katingan.
Sekitar pukul 11.00 WIB, Kika dilepaskan dari kandang. Ia melesat mencari pohon terdekat dan memanjat. Tangannya yang panjang dan kuat mencengkeram dahan-dahan pohon. Tiba-tiba ia sudah di ketinggian 25 meter.
Saat dilepaskan, tak seperti Kika, Alba berjalan pelan. Tim mengikuti Alba dengan mengambil jarak. Sesekali Alba memanjat pohon. Ia berhati-hati pindah dari satu pohon ke pohon lain.
”Semua bernapas lega ketika mendapat informasi Alba sudah memanjat pohon. Ia sangat hati-hati. Untuk pindah pohon, Alba turun dulu, lalu manjat lagi,” kata Koordinator Medis Nyaru Menteng Yayasan BOS Agus Fahroni di Kasongan, Kabupaten Katingan, Kamis (20/12).
Fahroni mengatakan, saat ditemukan satu tahun delapan bulan lalu, Alba dalam kondisi kritis. Tubuhnya kurus, beratnya hanya 8,3 kilogram, kulitnya penuh ruam, dan tidak banyak beraktivitas. Setelah direhabilitasi, berat Alba jadi 27,9 kilogram. Ia kerap naik pohon tinggi di Nyaru Menteng.
”Setelah dilepaskan di habitat baru, Alba mengobservasi lingkungannya, lalu memanjat pohon dan tidur. Dua hari pertama ia tak membuat sarang, tetapi mencari dahan yang pas untuk tidur. Itu tindakan cerdas dari orangutan,” ujar Agus.
Dini hari kedua, tim mencari Alba. Ia ditemukan sekitar pukul 08.00, bertengger di dahan pohon dengan ketinggian 36 meter.
”Kami optimistis Alba bertahan di habitatnya. Alba masih liar dan sangat mampu bertahan hidup. Sekarang yang jadi tugas besar adalah menjaga hutan dari perambahan, perburuan, dan lainnya,” kata CEO Yayasan BOS Jamartin Sihite, Jumat (22/12).
Jika Alba terancam dan tidak bisa bertahan, kata Jamartin, pihaknya akan menarik Alba kembali ke pusat rehabilitasi dan melepasliarkan di Pulau Salat, kawasan pra-pelepasliaran orangutan di Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng.
Harapan rimba
Pelepasliaran Alba merupakan pertaruhan besar. Orangutan putih itu bisa menjadi incaran banyak pemburu liar. Belum lagi ancaman alih fungsi lahan dan pembalakan liar. Pada saat yang sama, Alba menumbuhkan harapan akan kelestarian hutan.
Pelepasliaran Alba di TNBBBR seluas 181.090 hektar merupakan pelepasan orangutan ke-27 kali. Yayasan BOS melepasliarkan 114 orangutan di situ. Ini merupakan kerja sama Yayasan BOS, pemerintah daerah, dan pusat.
”Kami hanya memiliki 12 personel yang bisa dibilang polisi hutan meski tukang masak bisa juga ikut berpatroli,” kata Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Kasongan TNBBBR Firasadi Nursub’i.
Firasadi mengatakan, kehadiran Alba membakar semangat anak buahnya untuk bekerja ekstra keras menjaga hutan. Perburuan dan pembalakan liar terus menghantui karena kawasan konservasi begitu luas.
WWF bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pernah mencatat, sedikitnya terdapat tiga mamalia dilindungi di tempat itu, yakni orangutan, beruang madu, dan macan dahan.
Selain itu, ada 1.100 jenis tumbuhan, 159 jenis burung, 17 jenis reptil, 10 jenis amfibi, 25 jenis kupu-kupu, 268 jenis ngengat, 40 jenis invertebrata gua, 77 jenis ikan, dan 86 jenis mamalia. Tercatat pula bahwa 65 persen jenis burung di Kalimantan hidup di kawasan ini.
Sekretaris Desa Tumbang Tundu Salman mengatakan, selama ini kawasan kebun masyarakat kerap ditawari untuk menjadi perkebunan sawit, tetapi masyarakat desa menolak. Kehadiran Alba membuat pertahanan mereka untuk menjaga hutan dan kebun meningkat.
”Kami berharap akan banyak perhatian dari pemerintah pusat untuk menjaga hutan di sini. Bagi kami hutan adalah segalanya. Kalau berubah jadi kebun sawit, kami bakal dimarahi nenek moyang kami,” ujar Salman.
WWF dan LIPI juga mencatat, terdapat 400 jenis tumbuhan yang sehari-hari digunakan masyarakat adat Dayak di kawasan itu. Sebanyak 350 jenis diambil dari hutan. Tumbuhan itu antara lain untuk bahan pangan, obat, pelengkap adat, kerajinan tangan, dan ada enam jenis kayu untuk bahan bangunan.
”Kalau berubah atau jadi perkebunan sawit, maka tidak ada lagi hutan tersisa untuk kami kelola,” kata Salman.
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indra Exploitasia mengatakan, pihaknya sudah banyak membangun wilayah konservasi dan hutan lindung sebagai habitat satwa liar dilindungi dan satwa endemik lain. Menurut Indra, pelepasliaran dan perlindungan satwa liar merupakan komitmen nasional yang akan terus dipenuhi.
”Ini bagian dari upaya konservasi, mulai dari rescue sampai rehabilitasi. Secara tidak langsung masyarakat akan mendapatkan manfaat karena satwa ini bisa menjadi ikon daerah dan bermanfaat untuk pariwisata,” ujarnya.
Di lokasi rehabilitasi Yayasan BOS masih terdapat 386 orangutan yang belum dilepasliarkan. Indra menyatakan, pihaknya terus berupaya menciptakan dan menyediakan ruang atau habitat untuk orangutan. ”Peta habitat menjadi basis dari tata ruang. Jadi, kalau pemda membahas tata ruang, maka habitat bisa menjadi acuan,” ucapnya.
Sementara itu, Jamartin mengatakan, pihaknya berharap kandang-kandang di Yayasan BOS bisa segera kosong. ”Rumah orangutan adalah hutan, bukan kandang,” ujarnya. (Dionisius Reynaldo Triwibowo)