Bertaruh Nyawa untuk Terang
Ini kisah para pekerja yang membangun jaringan listrik di pelosok Sulawesi Tenggara. Mereka harus menembus hutan, memasang kabel di ketinggian 30-45 meter, dan menghadapi kelompok warga yang tak rela menjual lahan untuk jaringan listrik.
Waktu menunjukkan pukul 16.30 Wita saat Joko Jimantoro dan Susanto berada di puncak menara jaringan transmisi saluran udara tegangan tinggi di perbatasan Kabupaten Kolaka dan Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, pertengahan Desember lalu.
Keduanya bergelantungan pada tali pengikat dan memasang kabel transmisi di puncak menara. Tinggi menara sekitar 30 meter, belum termasuk fondasi. Ini adalah tinggi minimal, sebagian menara lain tingginya 45 meter.
Di bawah, pekerja lain baru saja turun dan duduk mengaso di tembok fondasi menara. Seusai memasang dan mengeratkan kabel, Joko dan Susanto turun.
Saat turun, mereka seperti laba-laba yang berpegangan pada rangka besi menara, seolah tanpa rasa takut. Sebentar saja mereka sudah bergabung dengan pekerja lainnya. Kelelahan tampak jelas di wajah mereka.
Menara jaringan transmisi ini berlokasi di kawasan hutan di ketinggian hampir 200 meter di atas permukaan laut. Tak mudah mencapai lokasi ini. Perlu mendaki tanjakan curam dengan bebatuan dan akar pohon di sana-sini.
Hujan membuat jalan sangat licin. Di beberapa titik, pendakian harus dibantu dengan berpegangan pada tali karena ada batu besar menutup jalan.
Lokasi proyek menara yang sulit dijangkau membuat sebagian pekerja pada sore itu memilih bermalam di kamp, tak jauh dari lokasi menara. Di kamp, mereka membuat rumah darurat dari kayu beratap terpal. Sebenarnya ada mes yang disiapkan di desa, tetapi medan yang sulit membuat sebagian pekerja memilih menginap di kamp.
”Daripada bolak-balik. Kalau di sini, bisa lebih santai. Untuk mulai kerja, tak harus mendaki dulu. Lagi pula kami bisa memasak di sini,” kata Kanafi, seorang pekerja.
Para pekerja ini, termasuk di dalamnya supervisor, teknisi, pengawas, dan pekerja lain, sudah lebih setahun berada di pelosok Kolaka Utara. Mereka kebagian tugas membangun 340 menara jaringan pembangkit.
Ke-340 menara ini adalah bagian dari 1.266 menara yang dibangun di antara Wotu, Luwu Timur (Sulawesi Selatan) dan Kendari (Sulawesi Tenggara). Pembangunan menara dan jaringan listrik ini adalah kerja besar mewujudkan proyek interkoneksi Sulsel-Sultra.
Proyek ini sebenarnya dimulai sejak 2011. Namun, berbagai kendala, terutama pembebasan dan kompensasi lahan, membuat proyek yang sedianya rampung pada tahun 2017 jadi terhambat.
”Jika semua sudah terpasang, tinggal mengalirkan listrik. Sulsel punya kelebihan listrik hampir 600 MW, sementara Sultra masih defisit. Kelebihan ini yang akan dialirkan ke Sultra.
Selain untuk kebutuhan masyarakat, sejumlah industri, termasuk smelter, membutuhkan listrik dalam kapasitas besar,” kata General Manager PLN Unit Induk Pembangunan Sulawesi Bagian Selatan I Putu Riasa.
Bertaruh nyawa
Para pekerja yang sudah lebih setahun terlibat dalam proyek interkoneksi tersebut bukan bekerja tanpa risiko. Memasang rangka besi menara, menarik kabel, memanjat di menara, meluncur dari satu menara ke menara lain melalui kabel di ketinggian 30-45 meter adalah pekerjaan dengan taruhan nyawa.
Menarik bagian tiang-tiang rangka besi baja ke lokasi pembangunan menara, termasuk bahan pembuatan fondasi, juga tak mudah. ”Kalau lokasinya di ketinggian di tengah hutan, kadang tiang-tiang rangka yang tak bisa ditarik menggunakan katrol terpaksa ditarik dan didorong secara manual,” kata Yaumul Fauzi, pengawas proyek.
Acap kali, lokasi pembangunan menara yang sangat sulit dijangkau membuat pembangunan satu menara bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan.
Pekerjaan tak berhenti setelah menara berdiri. Membentangkan dan memasang kabel merupakan pekerjaan selanjutnya yang tak kalah sulit.
Gulungan kabel ditarik dengan bantuan mesin hingga ke menara. Pekerja kemudian memanjat dengan membawa ujung kabel ke puncak menara dan dikaitkan.
Selanjutnya ujung kabel diulur ke bawah dan pekerja lain menarik lagi hingga ke menara berikut. Proses tersebut berulang dilakukan sampai semua menara tercakup kabel.
Setelah kabel terpasang, petugas lain akan naik untuk memastikan bentangan kabel serta memberi pembatas antara satu kabel dan kabel lain. Pekerja menggunakan semacam boks yang dikaitkan pada kabel dan tali yang dibentangkan dari satu menara ke menara lain.
”Kalau dibilang penuh risiko dan dekat dengan maut, tak salah juga. Kami hanya berupaya berhati-hati agar tak jatuh. Semangat kami hanya menuntaskan proyek agar listrik bisa dinikmati banyak orang,” kata Susanto.
Dihadang warga
Pekerjaan penuh risiko dan bertaruh nyawa belum cukup. Pekerja masih harus menghadapi hadangan kelompok warga setempat. Mereka adalah warga yang enggan merelakan tanahnya menjadi lokasi pembangunan menara jaringan listrik atau dilalui kabel jaringan transmisi.
”Sampai saat ini kami masih sering dihadang warga. Bahkan, ada yang membawa senjata tajam. Biasanya kami coba bicara baik-baik, melakukan pendekatan, dan menjelaskan bahwa proyek ini untuk kepentingan orang banyak, termasuk mereka,” tutur Yaumul.
Sebagian besar menara dibangun di lahan milik warga berupa perkebunan, sawah, hingga melintasi hutan. Lahan milik warga yang menjadi lokasi menara tentu harus dibeli. Sementara untuk penarikan kabel, lahan milik warga yang dilintasi kabel harus diberi kompensasi. Nilai kompensasi bergantung pada tanaman apa yang ada di bawahnya.
”Persoalan yang dihadapi PLN di antaranya adalah sejumlah lahan dalam sengketa dan diakui lebih dari satu pemilik. Ada pula lahan yang pemiliknya baru menanami dengan berbagai tanaman saat mengetahui proyek ini dikerjakan lantas meminta kompensasi yang tak wajar.
Padahal, harga ditentukan oleh lembaga independen dan sebagian besar di atas harga pasar yang berlaku,” kata Manajer Unit Pelaksana Proyek Pembangkit Jaringan Sultra Fahrul Marzuki, di Unaaha, Konawe, Selasa (18/12/2018).
Tak semua pemilik lahan menolak. Ada yang dengan penuh kesadaran merelakan tanahnya yang produktif. ”Kalau mau egois, saya tak mau menjual sawah saya yang produktif dan panen tiga kali setahun.
Akan tetapi, ini untuk listrik. Sampai sekarang kami masih mengalami pemadaman bergilir,” kata Akhiruddin Syam (70), pemilik lahan di Kecamatan Wolo, Kolaka.
Para pekerja berharap berbagai kendala ini segera tuntas. Jauh dari keluarga, bekerja dalam sunyi, dan bertaruh nyawa, mereka berharap proyek besar ini segera rampung dan bisa mewujudkan terang bagi warga di pelosok Sultra. (Reny Sri Ayu)