PALU, KOMPAS - Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah bersama tiga pemerintah kabupaten/kota mulai membahas revisi rencana tata ruang dan wilayah yang mengacu pada peta zona rawan bencana pascagempa bumi. Namun, peta itu dinilai mengabaikan potensi risiko di masa depan terutama terkait tsunami dan likuefaksi.
”Peta itu hanya menjawab kebutuhan jangka pendek terkait penanganan pascabencana gempa 28 September. Peta tak menjawab kebutuhan masa depan penataan ruang yang berperspektif pengurangan risiko bencana,” kata pegiat literasi kebencanaan Sulteng, Neni Muhidin, di Palu, Sulteng, Kamis (27/12/2018).
Gempa bumi mengguncang Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala, pada 28 September 2018, dengan magnitudo 7,4 dan berpusat di darat, yakni di Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala, 85 kilometer arah utara Palu.
Gempa dari aktivitas sesar Palu-Koro itu memicu tsunami di Teluk Palu dan likuefaksi di Kelurahan Petobo dan Kelurahan Balaroa, Kota Palu serta Desa Sibalaya Selatan dan Jono Oge, Sigi.
Pusat Data dan Informasi Bencana Sulteng per 6 Desember 2018 mencatat, korban tewas 2.227 jiwa dan hilang 965 jiwa. Adapun rumah hilang 1.784 unit, rumah rusak berat 24.739 unit, rusak sedang 18.892 unit, dan rusak ringan 22.820 unit.
Mengacu pada gempa itu, pemerintah menerbitkan peta zona rawan bencana dengan empat zona masing-masing untuk Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan Sigi. Zona rawan bencana terdiri dari zona terlarang (berwarna merah), zona terbatas (kuning tua), zona bersyarat (kuning), dan zona pengembangan (kuning muda).
Zona merah untuk lokasi-lokasi yang hancur karena gempa bumi, likuefaksi, dan tsunami. Di luar zona merah, permukiman dan aktivitas ekonomi bisa dilakukan.
Neni mengingatkan risiko ke depan bisa saja lebih buruk dari gempa lalu. Dengan rentang sesar Palu-Koro yang melewati Palu, ada kemungkinan pusat gempa terjadi lagi di Palu. Artinya, risiko kehancuran karena gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi berpotensi masih ada di masa mendatang.
Ia mengkritik tak transparannya pembuatan peta zona rawan bencana tersebut, terutama jika mengacu pada peta Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang dihasilkan pada 2012.
Dalam peta lama, zona potensi likuefaksi sangat tinggi cukup luas, meliputi titik-titik yang tiga bulan lalu mengalaminya. Di Palu Selatan, misalnya, kerentanan tinggi terbentang mulai dari Petobo hingga Bandara Mutiara SIS Al-Jufri di Kelurahan Birobuli Selatan.
”Dengan memetakan zona yang mengalami kehancuran lalu, sebetulnya tak perlu ada penelitian untuk menghasilkan peta itu karena secara faktual terkonfirmasi. Masalahnya potensi kerentanan karena likuefaksi, misalnya, cukup luas,” tutur Neni.
Secara terpisah, dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tadulako, Palu, yang juga ahli kegempaan, Abdullah, menyatakan, ada sejumlah potensi risiko yang tak dijelaskan dalam peta, antara lain penurunan tanah (down lift), baik di pesisir maupun di darat.
Di pesisir, kondisi itu memengaruhi jangkauan tsunami. Batas rawan bencana karena tsunami di daerah pesisir perlu menghitung kondisi tersebut. ”Ini butuh pembangunan dengan desain khusus sehingga tak mengorbankan manusia dan harta bendanya di masa mendatang,” katanya.
Kepala Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Provinsi Sulteng Saefullah Djafar menyatakan, saat ini pembahasan revisi tata ruang dimulai. Pembahasan akan melibatkan banyak pihak, termasuk akademisi dan masyarakat, dalam konsultasi publik. Revisi itu ditargetkan rampung pada Agustus 2019. (VDL)