PANDEGLANG, KOMPAS — Pos kesehatan untuk pengungsi tsunami Selat Sunda di Kecamatan Panimbang, Pandeglang, Banten, belum merata. Di pengungsian Kampung Cangkudu, Desa Citeureup, tidak ada pos kesehatan. Sebaliknya, di posko Kampung Cikadu, Desa Tanjungjaya, terdapat satu klinik dan dua pos kesehatan.
Titik pengungsian di Kampung Cangkudu dipusatkan di sebuah saung seluas 70 meter persegi. Jaraknya dari pinggir pantai atau Jalan Tanjung Lesung sekitar satu kilometer.
Pada Kamis (27/12/2018) sore terdapat lima orang dewasa dan delapan anak di tempat pengungsian itu. Sarma (58), misalnya, sedang di balik selimut. Ia tidur di saung bersama anaknya, Adi (25), yang juga berselimut.
Suhu badan Sarma panas. Ia juga merasa kedinginan. ”Ubun-ubun kepala saya juga sakit. Dari empat hari kemarin belum sembuh,” kata Sarma.
Kemarin, ia sudah berobat di posko bantuan yang berada di Kampung Cangkudu bagian bawah atau di ruas Jalan Tanjung Lesung. Satu tim relawan kesehatan pernah singgah di posko itu.
Adapun Adi juga terserang demam. Kaki, badan, dan kepalanya panas. ”Dia rencananya mau berobat lagi ke bawah, tapi kata warga, relawan kesehatannya sudah tidak ada,” kata Sarma, mewakili Adi, yang sedang tertidur.
Maman (44), koordinator bantuan untuk pengungsi Kampung Cangkudu, mengatakan ada tim sukarelawan kesehatan yang singgah. Namun, sukarelawan tersebut patroli dari satu pos ke pos lain. ”Kemarin itu, mereka di sini dari pukul 07.00 hingga 13.00,” kata Maman saat ditemui di pos bantuan.
”Kami berharap ada pos kesehatan serta petugas medis yang siap sedia di sini,” kata Maman. Ia mengatakan, beberapa relawan kesehatan menghubunginya untuk memberikan layanan kesehatan. Namun, hingga Kamis sore tidak juga datang.
Di sisi lain, di pos pengungsian Kampung Cikadu Desa Tanjungjaya sedikitnya terdapat dua pos kesehatan. Pos pengungsian itu terpusat di Kantor Kepala Desa Tanjungjaya. Sekitar 500 meter dari kantor kepala desa itu ada lagi satu pos sukarelawan kesehatan.
Syaifullah, dokter umum di pos itu, menyatakan, terdapat belasan pengungsi yang berobat ke pos itu. Sebagian di antaranya datang untuk perawatan luka akibat terjangan tsunami pada Sabtu malam lalu. Di samping itu, ada juga yang mengidap diare, gatal-gatal, dan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA).
”Penyakit itu lazim ditemui di area pengungsian karena risiko makanan terkontaminasi itu tinggi. Ditambah lagi, banyak pengungsi yang makan mi,” kata Syaifullah.
Dia menjelaskan, jika pengungsi mengalami demam tinggi disertai batuk, besar kemungkinan mengalami infeksi. ”Demam itu manifestasi dari infeksi. Untuk pastinya, memang harus dicek dulu,” kata Syaifullah.
Tak jauh dari pos kesehatan yang dilayani Syaifullah, salah satu organisasi masyarakat baru saja mendirikan pos kesehatan baru. Padahal, hanya beberapa meter dari pos itu terdapat Klinik Rawat Inap Cipadu.
Ketika Kompas memantau posko pengungsian di Kampung Cikadu, justru tidak terlihat pengungsi di posko tersebut. Muhammad Nammah, seorang sukarelawan, mengatakan, pengungsi sedang kembali ke rumah masing-masing.
Di samping itu, ada juga pengungsi yang memilih tinggal di perumahan kosong yang berjarak 500 meter dari posko pengungsian. ”Kalau di sini tidurnya, kan, di tenda, kalau hujan becek. Maka, ada pengungsi yang tinggal di perumahan itu,” katanya.
Dua tenda biru milik Kementerian Sosial terlihat kosong. Tempat tidur lipat juga tidak ada di dalam tenda. Sebuah ruangan di belakang kantor, yang biasanya tempat berkumpul pengungsi, terpantau lengang. Hanya ada tiga sukarelawan yang sedang makan siang. Distribusi bantuan harus lebih ditajamkan agar sungguh diterima dengan tepat oleh para pengungsi. (INSAN ALFAJRI/E10)