Kurikulum Mitigasi Bencana Disusun
PALU, KOMPAS - Pemerintah Kota Palu, Sulawesi Tengah, tengah menyusun kurikulum pendidikan mitigasi bencana berbasis kearifan lokal. Pendidikan mitigasi bencana ditargetkan diajarkan di sekolah pada tahun ajaran baru 2019.
Tujuannya untuk membangun kesadaran dan pemahaman mitigasi kepada generasi muda terkait kerentanan Palu terhadap gempa, tsunami dan likuefaksi.
”Kami sedang merancang kurikulum pendidikan mitigasi bencana untuk tingkat SD-SMP. Kami akan menyediakan bahan ajar berupa buku dalam bahasa Indonesia dan bahasa lokal yang terkait dengan kegempaan, visualisasi, dan simulasinya agar para siswa gampang memahami,” kata Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Palu Ansyar Setiadi di sela-sela diskusi ”Menggali Warisan Leluhur Menghadapi Bencana” di Palu, Jumat (28/12/2018).
Diskusi diselenggarakan Kabar Sulteng Bangkit, Aliansi Independen Indonesia Kota Palu, dan Internews. Menurut Ansyar, kurikulum mitigasi bencana diintegrasikan dengan mata pelajaran yang ada. Dengan kurikulum K-13 yang bersifat integratif, hal itu sangat mungkin dilakukan.
Selain itu, para siswa yang mengikuti kelompok peminatan tertentu, misalnya pramuka dan kelompok ekstrakurikuler lain, wajib mengikuti pendidikan mitigasi bencana sebagai kompetensi dasar.
Mitigasi bencana di bidang pendidikan juga diwujudkan dalam bentuk pembangunan infrastruktur yang tahan gempa. Struktur bangunan masyarakat Kaili yang mendiami Lembah Palu berbentuk rumah panggung bisa diadopsi dalam pembangunan ruang kelas. Banyak ruang kelas rusak berat akibat gempa bumi yang diikuti tsunami dan likuefaksi di Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala, 28 September lalu.
Ansyar mengakui pendidikan mitigasi bencana yang selama ini diajarkan tidak maksimal. Bentuknya bukan kebijakan yang diintegrasikan dalam kurikulum, melainkan hanya simulasi cara menyelamatkan diri saat gempa dan tsunami.
Minimnya pengetahuan tentang mitigasi bencana terlihat di pesisir Teluk Palu saat terjadi gempa diikuti tsunami. Saat tsunami terlihat dari teluk, banyak warga lari searah garis pantai, bukan tegak lurus. Tak sedikit yang lari menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat.
”Ini respons yang tidak tepat terhadap gempa dan tsunami. Ini momentum untuk memperbaiki mitigasi bencana,” ucapnya.
Arkeolog yang juga Wakil Kepala Museum Sulawesi Tengah Iksam menyatakan, integrasi pendidikan mitigasi bencana bisa dilakukan dalam tiga ranah, yakni ilmu sosial, bahasa atau agama, dan ilmu alam. Dalam kearifan lokal masyarakat Kaili, banyak istilah, nama tempat (toponimi), dan cerita rakyat yang menggambarkan kegempaan.
Untuk tsunami, masyarakat Kaili yang mendiami Lembah Palu menyebut sebagai bombatalu (gelombang tiga kali), sedangkan nalodo mengilustrasikan likuefaksi (tanah runtuh). Secara toponimi, daerah Balaroa yang mengalami likuefaksi pada gempa bumi lalu, sebelumnya bernama Tagari Lonjo (terbenam di lumpur pekat).
Di dataran tinggi Lindu, Sigi, ada cerita rakyat tentang terbentuknya Danau Lindu. Danau itu diceritakan muncul setelah terjadi perkelahian antara belut besar dan seekor anjing. ”Belut itu mengacu pada fenomena sesar,” kata Iksam.
Pengetahuan yang mengacu pada kegempaan itu masih hidup di komunitas tertentu di masyarakat Kaili. Agar menjadi pengetahuan publik, cerita-cerita itu perlu diangkat dalam bentuk buku dan diperkenalkan di dunia pendidikan.
Menurut tokoh adat Sulteng, Rukmini Toheke, daerah Petobo yang mengalami likuefaksi dulunya sumur, kemudian berubah jadi permukiman. “Pendidikan perlu mengembalikan konsep pemanfaatan alam sesuai dengan karakteristiknya,” ucapnya.
Jumat sekitar pukul 12.00 Wita, angin kencang melanda Kota Palu. Akibatnya 30 tenda di kompleks pengungsian Kelurahan Duyu, Kecamatan Palu Barat, hancur tertiup angin.
”Saya di dalam tenda saat angin kencang datang. Tiba-tiba tenda terangkat dan melayang, barang-barang berserakan,” kata Misrawati (43), salah satu pengungsi. Menurut Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Palu Irsan Sidjo, pihaknya akan membangun dua tenda besar untuk menampung para pengungsi yang tendanya hancur. (VDL)