BALIKPAPAN, KOMPAS - Penindakan terhadap penambangan batubara ilegal di Kalimantan Timur mulai tampak selama tahun 2018. Sekitar 15 petambang ilegal ditangkap di kawasan konservasi Taman Hutan Rakyat Bukit Soeharto. Meski demikian, perbaikan tata kelola tambang jauh dari harapan masyarakat.
Penuntasan kasus anak-anak yang tewas tercebur lubang bekas tambang, misalnya, belum ada perkembangan. Akan tetapi, Polda Kaltim memastikan proses hukum dijalankan.
Dari kasus 32 anak tewas pada tahun 2011-2018, baru satu kasus yang tuntas hingga vonis pengadilan. Rekomendasi Komnas HAM untuk perbaikan tata kelola tambang, dianggap pegiat lingkungan, belum dijalankan.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Kaltim Komisaris Besar Budi Suryanto, di sela-sela pemaparan akhir tahun, Jumat (28/12/2018), memastikan permasalahan tambang yang terkait kewenangan polisi diproses. Salah satunya adalah penindakan tambang ilegal di kawasan konservasi, seperti di Taman Hutan Rakyat (Tahura) Bukit Soeharto.
Penindakan terakhir, menurut Budi, dilakukan pekan lalu. Polisi menangkap dua petambang ilegal di kawasan konservasi itu yang berinisial BD dan AS. Keduanya sudah sebagai tersangka dengan barang bukti empat alat berat. ”Mereka perorangan, bukan karyawan perusahaan. Sudah berbulan-bulan menambang,” ujarya.
Berdasarkan catatan Kompas, setidaknya 15 petambang ilegal di Tahura Bukit Soeharto diringkus sejumlah instansi selama tahun 2018. Sembilan pelaku di antaranya diringkus jajaran Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Budi juga memperhatikan desakan Komnas HAM agar Polda Kaltim memastikan penyelidikan dan penyidikan yang profesional terhadap kasus meninggalnya korban di lubang tambang. Awal November lalu, Komnas HAM datang lagi ke Kaltim menemui sejumlah pihak untuk menanyakan mengapa rekomendasi Komnas HAM tidak dijalankan.
Budi tak merinci sampai di mana proses hukum terkait tewasnya anak-anak di lubang tambang, tetapi ia memastikan kasus itu diproses. ”Tidak ada kasus yang dipetieskan. Jika itu tindak pidana dan ada orangnya, tentu kami proses,” ujarnya.
Kurang perhatian
Tahun 2016, Komnas HAM menyerahkan rekomendasi kepada tujuh pihak terkait perbaikan tata kelola tambang. Tujuh pihak ini adalah Gubernur Kaltim, bupati/wali kota, Kapolda Kaltim, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan korporasi (perusahaan).
Husein Suwarno, pegiat lingkungan, yang juga anggota Forum Peduli Teluk Balikpapan, mengatakan, persoalan seputar karut-marut pengelolaan tambang batubara tidak hanya di darat, tetapi juga di perairan, yakni sungai dan laut. Sayangnya, kondisi di perairan tidak terlalu mendapat perhatian.
Setelah diangkut dari darat, kata Husein, batubara dibawa dengan tongkang. Tongkangtongkang ini tak hanya melintasi sungai dan laut, tetapi juga melakukan bongkar muat.
Imbasnya, sebagian ceceran batubara jatuh ke air dan tidak mungkin diambil. Itulah sebabnya, Juni lalu, sekitar 100 nelayan tradisional berunjuk rasa dan memblokade aktivitas bongkar muat batubara di perairan Teluk Balikpapan.
Tiga-empat tahun terakhir, nelayan semakin susah mencari ikan. Bahkan, lebih banyak menjaring batubara.
Husein mengapresiasi aparat yang semakin berani menangkap pelaku penambangan ilegal. ”Itu pun tidak terlalu banyak mengubah kondisi. Jika ingin efektif, semua yang dirugikan karena pertambangan batubara, dicari solusinya,” ujar Husein. (PRA)