Ironi Mitigasi di Wilayah Terdampak Tsunami
Ada ironi di balik tsunami yang menerjang pesisir Banten dan Lampung, Sabtu (22/12/2018), dan mengakibatkan 431 jiwa tewas serta puluhan ribu orang mengungsi. Fasilitas mitigasi bencana yang semestinya dapat meminimalkan korban jiwa justru terbengkalai dan dikorupsi.
Tuniah (43) masih ingat betul gelombang besar yang menerjang dari arah belakang rumahnya pada Sabtu (22/12/2018) malam. Gulungan air berwarna hitam setinggi lebih dari dua meter mengempas dari perairan Selat Sunda yang berjarak 15 meter dari rumahnya.
Ketika melihat gelombang, warga Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten, itu seketika langsung lari tunggang langgang sambil memapah sang suami yang sudah beberapa bulan terakhir tak bisa berjalan. Ia tak mengerti apa yang terjadi, sebab tak ada gempa maupun peringatan sama sekali. Tuniah juga tak tahu harus berlindung kemana.
“Saya berlari ke rumah anak yang ada di Kampung Tanjung Sari,” ujar Tuniah yang tengah mengunjungi reruntuhan rumahnya, Minggu (30/12/2018), siang. Bersama sang suami, ia mengenang tsunami sambil memilah barang-barang yang bisa masih bisa dipakai.
Rumah anak Tuniah sebenarnya masih di sekitar pantai, jaraknya kurang dari 1 kilometer dari kediamannya. Saat tsunami menerjang, rumah itu juga rusak di bagian depan. Namun, ibu empat anak itu tidak memikirkan tujuan lain.
Padahal, sekitar 1,5 kilometer dari sana, terdapat tempat evakuasi sementara (TES) untuk penyintas tsunami atau biasa disebut shelter tsunami. Gedung seluas 2.456 meter persegi dengan tinggi sekitar 100 meter dibangun pemerintah sejak 2014.
“Bangunan itu biasa disebut Gedung Tsunami oleh orang sini,” kata Tuniah. Ia tak mau kesana lantaran dari luar, gedung itu tampak kotor, penuh coretan, tak ada tanda-tanda bisa digunakan.
Didi (40), warga Desa Teluk, juga enggan menuju shelter saat mengungsi. Menurut dia, aksesnya dari Teluk jauh dan sulit dijangkau. Sebab, Desa Teluk merupakan kawasan permukiman padat yang dihubungkan gang sempit. Mereka harus berebut jalan untuk menuju pengungsian.
Hal serupa diungkapkan Agus (41), warga Desa Teluk. Ia khawatir kapasitas shelter tidak mampu menampung seluruh penyintas saat itu. Oleh karena itu, ia tidak pergi ke sana saat tsunami menerjang.
“Saya, istri, dan anak langsung menuju ke dataran yang lebih tinggi menggunakan sepeda motor saat kejadian. Saya tidak terpikir untuk pergi ke shelter,” kata Agus.
Mangkrak
Tak heran jika warga bingung harus mengungsi kemana saat tsunami menerjang. Shelter tsunami yang mulai dibangun tahun 2014 itu kini mangkrak dan tak terurus. Atap gedung belum dibangun. Tembok yang kusam dan kotor dipenuhi dengan coretan cat semprot. Sampah pun berserakan di lantai dan tangga gedung.
“Bangunan ini lebih sering digunakan nongkrong anak muda,” kata Agum (17), warga Desa Labuan, Kecamatan Labuan. Pelajar yang kerap menghabiskan waktu luang di shelter itu menyaksikan, banyak anak muda tak sekadar nongkrong tetapi juga berpesta minuman keras dan berbuat asusila. Padahal, shelter ini hanya berjarak 50 meter dari kantor Kepolisian Sektor Labuan.
Proyek shelter tersebut terhenti karena terkait dengan tindak pidana korupsi yang ditangani Kepolisian Daerah Banten. Shelter dengan nilai proyek sekitar Rp 18 miliar menyeret tiga terdakwa. Mereka, yakni Ahmad Gunawan, Takwin Ali Muchtar, dan Wiarso Joko Pranolo.
Humas Pengadilan Negeri (PN) Serang, Banten, Efiyanto mengatakan, Gunawan adalah pejabat pembuat komitmen (PPK) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Takwin adalah Direktur PT Tidar Sejahtera, dan Joko adalah Project Manager PT Tidar Sejahtera.
Di Pengadilan Negeri Serang, pertengahan tahun 2018, mereka dijatuhi pidana penjara yang sama, yaitu satu tahun dan tiga bulan, serta membayar denda sebesar Rp 50 juta. Selain itu, Takwin dan Gunawan harus membayar uang pengganti. Takwin membayar Rp 4,71 miliar dan Gunawan membayar Rp 500 juta.
Shelter tsunami yang mulai dibangun tahun 2014 itu kini mangkrak dan tak terurus. Atap gedung belum dibangun. Tembok yang kusam dan kotor dipenuhi dengan coretan
Efiyanto mengatakan, Takwin dan Joko telah melakukan atau turut serta membuat bangunan tidak berfungsi dengan baik. Sementara, Gunawan menyetujui permintaan pembayaran terhadap bangunan yang tidak berfungsi dengan baik dan tidak mengendalikan pelaksanaan kontrak.
Persetujuan tersebut bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Gunawan dianggap memperkaya diri dengan nilai Rp 500 juta dan Takwin sebesar Rp 15,57 miliar. Oleh karena itu, mereka telah merugikan negara dengan nilai Rp 16,07 miliar sesuai laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2016. Bangunan tersebut juga tak sesuai ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi.
Pada 2017, polisi mencegah aktivitas tersebut dengan menyegel gerbang. Namun, beberapa bulan setelahnya, kumpulan sopir angkutan kota meminta gerbang dibuka kembali. Mereka merasa berhak untuk memanfaatkannya shelter yang dibangun di lahan bekas Terminal Labuan.
Kini, angkutan kota pun memenuhi lantai dasar dan jalan di sekitar shelter. Puluhan pedagang kaki lima juga berjualan di sana, hingga menutupi papan nama bangunan.
Padahal,Direktur Perbaikan Darurat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Medi Herlianto menyebutkan, shelter mampu menampung sekitar 3.000 penyintas di dua lantai teratas bangunan. “Kasus di sini (Pandeglang) bisa menjadi pelajaran di tempat lain,” kata Medi.
Medi menilai, pembangunan shelter tsunami merupakan bagian dari kesiapsiagaan bencana. Namun, shelter bukan satu-satunya penyelamat jika masyarakat setempat tidak diedukasi dan alat peringatan dini juga tidak berfungsi.
Hanya saja, jika bangunan shelter itu berfungsi optimal, penyintas bencana di sekitar Kecamatan Labuan tidak perlu tersebar di banyak titik untuk mengungsi. Sebaran pengungsi menyulitkan pendataan dan penyaluran bantuan seperti saat ini.
Jika bangunan shelter itu berfungsi optimal, penyintas bencana di sekitar Kecamatan Labuan tidak perlu tersebar di banyak titik untuk mengungsi. Sebaran pengungsi menyulitkan pendataan dan penyaluran bantuan
Selain itu, karena bangunan itu mangkrak dan tidak pernah disosialisasikan, banyak warga di luar Kecamatan Labuan pun tidak mengetahui keberadaan shelter. Seperti Samsiah (50), penyintas dari Desa Sukarame, Kecamatan Carita, yang tidak tahu keberadaan shelter tsunami.
Padahal, Samsiah berharap tempat tersebut bisa digunakan saat bencana tsunami menerjang pesisir Banten. “Saya lebih baik mengungsi ke shelter itu ketimbang ke gunung karena perjalanan ke gunung sangat jauh,” kata Samsiah.
Bupati Pandeglang Irna Narulita menyebutkan, Shelter itu juga merupakan program pembangunan Provinsi Banten dan belum diserahterimakan ke Kabupaten Pandeglang. Untuk menggunakan shelter itu, pihaknya tengah meminta izin kepada kepolisian.
"Kapolres Pandeglang telah mengizinkan penggunaan shelter untuk kepentingan pengungsian. Secepatnya shelter akan digunakan, akan tetapi akan dipastikan kelayakan dan keamanannya," kata Irna yang memastikan juga akan menertibkan parkiran liar di area shelter.
Alat deteksi
Tidak hanya soal shelter. Potret buram mitigasi bencana di Banten juga tampak ketika mendapati tiga alat pendeteksi dini (early warning system) tsunami milik Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofofisika (BMKG) yang terdapat di pesisir pantai Desa Teluk.
Terdapat dua alat yang dibangun tepat di bibir laut, sedangkan satu alat lainnya dibangun di dalam kompleks Balai Pelabuhan Perikanan Pantai (BP3) Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang.
Dua alat pemantau tsunami yang dibangun tepat di bibir laut tampak tidak terawat. Bangunan dan pagar besi untuk melindungi alat tersebut telah rusak dan berkarat akibat ombak yang menerjang setiap saat. Adapun parabola yang terpasang di atas bangunan untuk mendeteksi gelombang juga telah hilang.
“Pagar dan bangunan yang berfungsi melindungi dua alat lainnya memang rusak karena sering terkena ombak dan perawatannya kurang maksimal. Area di sekitar alat ini juga sering dibuat nongkrong anak muda. Bahkan, parabola sering digunakan untuk mainan seluncuran anak-anak kecil,” kata penjaga keamanan BP3 Syahruna.
Perawatan lebih baik terlihat pada satu alat pemantau tsunami yang berguna untuk mengeluarkan bunyi sirine tanda datangnya gelombang. Menurut Syahruna, setiap bulan petugas dari BMKG rutin merawat dan memastikan sirine dari alat pemantau tsunami berbunyi. Hal ini untuk memastikan alat tersebut masih aktif dan berfungsi dengan layak.
“Tiga alat pemantau tsunami ini dibangun secara bertahap. Alat yang pertama dibangun tahun 2012 yaitu alat berfungsi mengeluarkan bunyi sirine. Pagar dan bangunan yang berfungsi melindungi dua alat lainnya memang rusak karena sering terkena ombak dan perawatannya kurang maksimal,” ungkap Syahruna.
Saat tsunami menerjang pada Sabtu (22/12/2018) lalu, alat itu tidak mengirimkan peringatan. Tuniah yang tinggal hanya berjarak sekitar 500 meter dari bangunan alat tersebut juga tidak mendengar adanya sirine maupun peringatan apapun.
Warga pun tidak memahami cara kerja alat tersebut. “Saya tidak tahu apakah jika alat berbunyi itu artinya peringatan atau tsunami sudah terjadi. Tetapi Sabtu lalu, alat tersebut tidak berbunyi sama sekali,” kata Didi.
Kepala Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah II Joko Siswanto menyebutkan, peralatan pemantau tsunami di pos itu tidak berada dalam aset BMKG Wilayah II."Alat itu bukan aset kami, saya tidak tau seperti apa kondisinya. Lebih jelasnya hubungi kantor pusat saja," ucap Joko, saat dihubungi.
Ketika hendak dikonfirmasi, Deputi Bidang Geofisika BMKG Muhammad Sadly tidak menjawab saat dihubungi melalui sambungan telepon. Namun, sebelumnya Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyebutkan, alat pendeteksi dini milik BMKG itu hanya dirancang untuk mendeteksi tsunami akibat gempa tektonik. Hingga 2018, BMKG memiliki 175 alat perekam gelombang gempa yang dipasang di setiap perwakilan Pulau Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Seram, Papua, Sulawesi, dan Kalimantan. (NIA/MTK/BAY/E10/E17)