Meniti Mimpi di Tengah Korupsi
Menjelang pengujung tahun 2018, tapak kaki siswa-siswa pada jalan setapak di pelosok Jawa Barat memberi bukti adanya kegigihan. Mereka tak kehilangan semangat meniti ilmu hingga sebagian berbuah prestasi saat sejumlah kepala daerah dan pejabat pemerintah daerah di wilayah tersebut tersandung korupsi.
Kampung saya ada di sana,” kata Lia Mulyani (15), siswa SMPN Sukaresmi, Cianjur, Jawa Barat, Sabtu (15/12/2018), sambil menunjuk salah satu punggung bukit yang teramat jauh di mata.
”Rumah saya di Kampung Ganda, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, berbatasan dengan Cianjur. Jaraknya sekitar 4 kilometer dari sini,” ujar Lia menambahkan.
Sore itu, Lia dan sahabatnya, Siti Komalasari (15), bersiap pulang setelah menerima rapor. Berteman mendung, kaki-kaki kecil mereka mulai menapaki tanah basah. Jembatan tali baja harus dititi. Air sungai deras mengalir di bawahnya. Jalanan turun naik curam tak menghentikan langkah cepat mereka.
Akan tetapi, kekuatan tubuh-tubuh kecil itu ada batasnya. Setengah perjalanan, napas mereka mulai terengah-engah. Namun, tak ada waktu lama beristirahat. Gerimis turun.
Tak terasa, 1,5 jam kemudian, kaki-kaki berlepotan lumpur itu tiba di Kampung Ganda. Sayup-sayup azan Maghrib terdengar dari kejauhan. Di depan pintu rumah, Cecep Gunawan (40), ayah Siti, sudah menunggu putrinya. Cemas di wajah petani gurem itu pupus saat melihat Siti yang bermandi keringat tiba selamat di rumah.
”Sebenarnya tak tega lihat dia berjalan sejauh ini. Namun, hati ini luluh melihat mereka semangat sekolah. Beruntung, kini sekolah lebih dekat. Zaman saya dulu, sekolah terdekat ada di Cibadak, Sukabumi. Jaraknya puluhan kilometer dari sini. Akibatnya, saya dan banyak orangtua di sini hanya lulusan SD,” papar Cecep.
Siswa SMPN Sukaresmi asal Kampung Ganda adalah potret muram anak-anak milenial di perdesaan Jabar. Nasibnya rentan sama seperti orangtuanya apabila kehilangan semangat. Ironis. Tinggal hanya sekitar 120 kilometer dari Jakarta, mereka masih bersusah payah untuk sekolah.
”Kalau mau melanjutkan SMA, lebih jauh lagi, bisa 20 kilometer dari sini. Untuk sementara, saya dukung semangat anak yang selalu gembira jika pergi sekolah. Tidak tahu setelah lulus nanti,” ungkap Cecep Akan tetapi, kegembiraan menuntut ilmu saat ini sebenarnya tak sempurna.
Sejak setahun lalu, Lina dan puluhan siswa lainnya belajar dalam keterbatasan. Bangunan sekolah yang ambruk setelah diterjang longsor tak kunjung diperbaiki. Akibatnya, mereka harus menumpang ke SDN Candrakusumah, di sebelah SMPN 3 Sukaresmi.
Kondisi itu, menurut Kepala Sekolah SMPN 3 Sukaresmi Epo Kurnia, membuat kegiatan belajar mengajar tak sempurna. Siswa hanya belajar 5 jam sehari karena harus berbagi tempat dengan siswa SD. Siswa masuk pukul 13.00 dan harus pulang sebelum pukul 16.00.
”Siswa kerap tidak mendapatkan jam istirahat karena waktunya terbatas. Kami tak mungkin memulangkan mereka lewat dari jam 16.00. Terlalu berbahaya. Mau tidak mau, kami memangkas jam belajar,” kata Epo.
”Kami belum tahu nanti akan seperti apa. Banyak calon lahan untuk bangunan baru masuk kategori rawan longsor. Ada lokasi cocok, tetapi jaraknya 3 kilometer dari sini. Jika dipaksakan, anak-anak Kampung Ganda bisa putus sekolah. Kami berharap pemda lekas memberi solusi,” tuturnya. Saat ini, ada 20 anak Kampung Ganda dari 300 siswa SMPN Sukaresmi.
Korban korupsi
Akan tetapi, harapan orangtua dan siswa itu bakal tidak mudah terwujud dalam waktu dekat. Rabu (12/12) subuh, bersamaan dengan langkah kecil anak-anak Kampung Ganda pergi sekolah, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar dengan tuduhan terlibat korupsi dana alokasi khusus di Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur.
Ikut ditangkap, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur Cecep Sobandi dan Kepala Bidang SMP Dinas Pendidikan Rosidin. Ironisnya, setahun lalu, Rosidin pernah berjanji SMPN Sukaresmi bakal lekas tegak kembali.
Tak jauh berbeda, kondisi serupa menenggelamkan prestasi siswa SMK Widya Mukti, Kecamatan Cigalontang. Sekolah ini menjadi yang terbaik dalam menerapkan kearifan lokal untuk konservasi lingkungan di Asia Tenggara saat Pemkab Tasikmalaya dililit korupsi.
Kabar gembira bagi SMK Widya Mukti itu datang pada 8 November 2018. Surat elektronik dari Organisasi Menteri- menteri Pendidikan Asia Tenggara (SEAMEO) mengabarkan sekolah itu menjadi yang terbaik di ajang 2018 SEAMEO-Japan ESD Award.
Sekolah tumpuan anak-anak kurang mampu di perbatasan Tasikmalaya-Garut ini menyisihkan 94 sekolah dari tujuh negara Asia Tenggara dan satu sekolah asal India.
Ketua Umum Yayasan Pendidikan Setia Bhakti Anton Abdul Fatah, yang menaungi SMK Widya Mukti, mengatakan, program sekolah bertajuk Plantation: Participative-Active Learning Through the Adoption of ”Tritangtu” Philosophy to Save the Environment memikat para juri.
Program ini merupakan adaptasi filosofi budaya Sunda ”Tritangtu” yang menumbuhkan karakter cinta lingkungan bagi siswa lewat kegiatan belajar mengajar dan ekstrakurikuler.
”Bersama masyarakat setempat, siswa terlibat merehabilitasi lahan, menanam pohon keras, hingga merehabilitasi kawasan rusak akibat industri batu bata,” ujarnya.
Luar biasanya, semuanya dilakukan bukan oleh anak-anak dari kalangan berada. Hampir 90 persen siswa SMK Widya Mukti adalah dari keluarga tidak mampu. Mereka ada di sekolah setelah guru-guru bergerilya setiap tahun ajaran baru menawarkan kemudahan belajar di SMK Widya Mukti.
”Mereka dijamin bisa belajar tanpa memusingkan biaya. Bayar seadanya. Banyak juga yang dibantu semua biayanya,” katanya. Sebagian dana operasional sekolah didapatkan dari pengelolaan Pasar Genteng, pasar swadaya pertama di Garut yang digawangi warga setempat.
Menjadi rumah ilmu bagi siswa tak mampu bukan berarti tata pembelajaran di sana sembarangan. Perjalanan siswa jauh-jauh dari rumahnya setiap hari berbuah manis. Salah satunya saat SMK Widya Mukti menjadi sekolah swasta pertama yang menerapkan ujian berbasis komputer pada 2017. Sebagian komputer adalah perangkat rusak yang diperbaiki. Program sederhana pun dibuat sendiri memudahkan siswa mengerjakan soal ujian.
Akan tetapi, kabar gembira ini urung menjadi contoh. Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Jabar menangkap Sekretaris Daerah Kabupaten Tasikmalaya Abdul Kodir, Kamis (15/11). Dia diduga terlibat kasus dugaan korupsi dana hibah Kabupaten Tasikmalaya 2017 sebesar Rp 3,9 miliar.
Sebagian uang hasil korupsi sudah digunakan untuk berfoya-foya. Pemberitaan banyak media massa pun berujung pada kasus memalukan itu. Pemkab Tasikmlaya pun disibukkan dengan kasus ini alih-alih belajar dari keberhasilan SMK Widya Mukti.
Anton mengatakan tidak ambil pusing. Menurut dia, semuanya tidak akan menghentikan SMK Widya Mukti terus berkarya. Masih banyak anak-anak perbatasan di pelosok yang membutuhkan pertolongan untuk membangun mimpi. Anak-anak buruh serabutan hingga kuli kebun teh harus terus sekolah. ”Kami ingin terus menghidupkan harapan anak-anak kampung untuk membuat bangga negeri ini,” kata Anton. (Cornelius Helmy/Wahyudi Ritonga)