SURABAYA, KOMPAS — Konsep penatalaksanaan hotel di Surabaya yang selama ini dikenal sebagai kawasan wisata konvensi perlahan-lahan mengalami pergeseran (shifting). Hotel pada masa kini mendasarkan pendapatannya bukan hanya dari okupansi, melainkan juga dari fungsinya sebagai tempat berkumpul, atau bertemu untuk sama-sama bekerja, atau yang sekarang disebut sebagai co-working space.
Hotel di kota kini mengandalkan pendapatannya dari tersedianya ruang diskusi kecil untuk berbagai dengan rekan kerja atau kolega, kemudian saling bertukar gagasan sambil dilayani oleh saluran data berbasis Wi-Fi dengan kapasitas besar.
”Belum ada kata kunci yang menggambarkan pergeseran karakter bentuk hunian demikian. Namun, kami menyebutnya dengan konsep hotel untuk kalangan milenial, yaitu terpenuhinya kebutuhan kaum milenial untuk menyelenggarakan proyek bersama dalam satu ruang bersama dengan infrastruktur komunikasi yang mumpuni,” tutur Manajer Hotel Kampi Zainuddin, di Surabaya, Selasa (1/1/2019).
Surabaya dan umumnya kota besar saat ini di musim liburan akhir tahun sedang mengalami low season, atau tingkat hunian sementara yang rendah. Hal ini karena penghuni kota sedang memilih mudik ke kampung halaman atau bepergian ke luar kota, di desa dan di gunung untuk berpetualang, menikmati masa liburan. Secara umum, tingkat hunian hanya mencapai 40 persen atau separuh dari kondisi puncak sekitar 80 persen.
Kendati demikian, tidak masalah, kata Zainuddin, karena setiap minggu kami masih bisa menyelenggarakan permintaan pertemuan hingga dua tiga kali. Pertemuan-pertemuan kecil yang justru berusaha dilakukan saat pekerjaan rutin berkurang.
Instansi masih menyelenggarakan pertemuan demikian, semacam evaluasi tahunan. Pada saat seperti itu, kebutuhannya adalah tempat pertemuan yang menyediakan layanan untuk bekerja. ”Mereka bawa laptop, diskusi di depan laptop, sambil terus bermedsos, dan minta aneka kebutuhan pertemuan, seperti layar proyektor, saluran Wi-Fi kencang untuk mendiskusikan materi yang diambil dari Youtube, atau melakukan chatting video di tengah pertemuan,” katanya.
Hotel ini juga menjadikan dapur dan ruang pertemuannya berada di depan serta meletakkan lobi di belakang bangunan. Pengunjung yang tidak harus merupakan penghuni hotel mendapat akses utama menuju ke restoran dan ruang pertemuan, yang dilengkapi dapur dengan layanan setara kafe, yakni jajaran pilihan menu tradisional dan pilihan ragam minuman kopi.
”Banyak tamu kami berjam-jam menyendiri atau berkelompok minum kopi dan makan, mengetik atau menggambar, atau berbisnis di depan komputer. Mereka membuka tablet, komputer, dan ponsel sekaligus dari pagi sampai sore. Bekerja atau bermain gim,” ujarnya.
Eksekutif Pemasaran Hotel Kampi Agustina Ayu mengatakan, desain hotelnya masih menyediakan akses cukup besar kepada perokok. Di setiap lokasi ruang publik di restoran dan ruang pertemuan besar atau kecil selalu ada akses langsung ke ruang terbuka yang dimaksudkan sebagai ruang terbuka untuk perokok.
”Terutama di kafe seluruh ruangan sisi luar ada teras besar bagi mereka yang merokok dan tetap ingin beraktivitas dengan tetap merokok,” katanya.
Zainudin mengakui, perokok tak bisa dihindari sebagai lapisan pasar yang tetap berpotensi dan harus dilayani. Perokok, menurut dia, sama dengan layanan yang diberikan dalam menu restoran yang menyediakan makanan tradisional sebagai selera utama pengunjung.
”Kami bahkan melayani permintaan atas masakan yang tidak ada di menu kami, sejauh pada hari itu ada stok bahan pada dapur kami,” katanya.