Mitigasi untuk Investasi Masa Depan
Kerap jadi korban banjir, warga Tanggulun, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, kini menjadi teladan. Dibantu dana desa, kemandirian warga pun tumbuh demi lebih siap menghadapi ancaman bencana.
Di antara keramaian di Alun-alun Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (12/12/2018) siang, tubuh besar Adi Rosadi (21) berbalut baju khas sukarelawan bencana berwarna oranye tampak begitu mencolok. Radio panggil (HT) tak pernah lepas dari genggamannya. Sembari menjaga lapak jam tangannya, ia kerap menatap langit yang mulai mendung.
”Kalau musim hujan seperti ini, pukul 14.00 biasanya awan mendung mulai datang dan hujan turun 1-2 jam kemudian,” kata Adi.
Selama sebulan terakhir, lapaknya tak sekadar jadi lahan mencari untung. Terletak strategis di depan pusat perbelanjaan, lapak itu jadi ”pos konsultasi” mitigasi bencana. Siapa saja bisa datang dan bertanya, mulai dari konsumen jam tangan hingga kenalan yang kebetulan melintas.
”Kebetulan, sejak akhir November 2018, saya jadi bagian dari Relawan Bencana Rikat di Desa Tanggulun. Meski hanya punya secuil ilmu, tetap saja harus dibagikan,” kata Adi sembari memperlihatkan tulisan di belakang kausnya. Rikat dalam bahasa Indonesia berarti tangkas atau cekatan.
Azis (35), warga RW 007 Desa Tanggulun, misalnya, memanfaatkan waktu berkonsultasi tentang bencana sembari membeli jam. Dia bertanya tentang apa yang harus dilakukannya jika datang hujan deras. ”Sebelum banjir, sebaiknya rutin membersihkan sampah yang menyumbat saluran air,” jelas Adi kepada Azis.
Akan tetapi, jika banjir telanjur datang dan tak bisa dicegah, dia menyarankan Azis menghubungi sukarelawan seperti dirinya. Selain bisa dicarikan tempat evakuasi, sukarelawan bisa memberi pertolongan pertama kepada warga. ”Jangan sungkan. Setiap hujan datang, sukarelawan Rikat, mah, siap siaga,” ujarnya.
Pelajaran berharga
Adi begitu ngotot menekankan sikap itu. Dia tidak ingin pengalaman Februari 2018 terulang. Saat itu, ia kerepotan menghadapi banjir besar yang merendam rumahnya setinggi 2 meter. Dia pontang-panting tak tahu harus berbuat apa.
Permintaan tolong mengevakuasi anggota keluarganya pada personel lembaga kebencanaan tidak ditanggapi. ”Akhirnya susah payah harus menyelamatkan sendiri. Tidak mudah bagi saya yang tidak punya ilmu tentang bencana,” ujarnya.
Diapit Sungai Citarum dan Sungai Ciraab, Desa Tanggulun langganan banjir saat musim hujan. Tercatat, banjir terjadi sejak 1984 dan terus berulang setiap tahun dengan intensitas lebih besar.
Tak hanya air, banjir juga membawa potongan kayu dan sejumlah sampah seperti kasur bekas dari hulu. Ekonomi juga rentan lumpuh saat warga sibuk menyelamatkan diri. Anak-anak warga juga kerap kesulitan bersekolah saat bencana datang.
Enggan selalu jadi korban, sebagian warga ingin berubah. Mereka berinisiatif belajar mitigasi bencana ketimbang berpangku tangan. Mereka tak ingin berselisih dengan tetangga akibat berebut mi instan, logistik yang sering dibagikan kepada pengungsi.
Gayung bersambut, rencana tersebut ditangkap Kepala Desa Tanggulun, Dudu Kosasih (71). Dia kemudian menginisiasi pelatihan mitigasi bencana dengan pendampingan pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat di bidang bencana.
Acara itu dilakukan pada 12-14 November 2018 dengan dibiayai dana desa Rp 30 juta. Dana itu juga digunakan untuk membeli peralatan evakuasi, seperti HT, tali evakuasi, dan helm penyelamat. ”Semuanya atas persetujuan desa. Uang yang keluar bakal dipertanggungjawabkan. Semua harus transparan,” ujar Dudu.
Saat pelatihan berlangsung, warga sangat antusias. Atep Sopwan (59), misalnya, penuh semangat memaparkan pemetaan kawasan rawan hingga lokasi evakuasi.
Lelaki yang berprofesi sebagai petugas keamanan itu mengatakan, kawasan rawan berada di daerah cekungan dan bantaran sungai. Tempat evakuasi dipilih rumah warga yang berlantai dua atau di tempat yang lebih tinggi.
”Sebelumnya kami tidak tahu tentang hal seperti ini. Lewat pemetaan bersama, kami lebih paham harus mengerjakan apa saja saat bencana datang,” kata Atep yang jadi Ketua Relawan Bencana Rikat.
Bantu sesama
Selain dana desa, menurut Dudu, pihaknya menganggarkan dana talangan Rp 60 juta untuk perbaikan tanggul di bantaran Citarum. Tanggul yang ada kerap jebol karena berada tepat di lekukan Sungai Citarum.
Tanggul anyar ini dibuat dengan panjang 1.200 meter, lebar 8 meter, dan kedalaman 3,8 meter. Saat membangun, mereka dibantu personel TNI setempat.
”Penguatan tanggul ini juga bakal berguna bagi desa tetangga, Sukamaju. Bencana tidak pandang tempat jadi saling membantu antarwarga sebagai kunci meminimalkan risiko,” ujar Dudu.
Riki Waskita, Koordinator Garda Caah yang ikut memberikan pelatihan bagi warga Tanggulun, menilai penggunaan dana desa untuk meminimalkan dampak bencana menunjukkan kesadaran mulai tumbuh.
Warga semakin paham bahwa mitigasi adalah investasi kehidupan. Kerugian akibat bencana diperkirakan bakal lebih besar ketimbang dana desa yang dikeluarkan.
”Tidak mudah menata hidup jika menjadi korban banjir. Selalu muncul kebingungan bila tak siap sejak awal mengantisipasi keadaan terpuruk,” ujar Riki. Menjelang sore, awan mendung itu datang semakin banyak, mengarak di langit Majalaya. Perkiraan Adi benar. Dia kembali memeriksa laporan sukarelawan lain di grup WhatsApp.
”Begini aktivitas kami setiap sore pada musim hujan. Bahkan, jika tidak ada hujan, kami harus waspada. Senin (10/12) sore, tidak ada hujan dan angin di sini, tetapi Citarum tetap meluap. Penyebabnya hujan di kawasan Pacet, hulu Citarum berjarak sekitar 13 km dari Tanggulun,” ujarnya.
Melihat situasi itu, dia langsung menutup lapaknya lebih dini kemudian berkoordinasi dengan para sukarelawan. Hal itu dilakukan agar warga terhindar dari bencana alam.(Cornelius Helmy)