YOGYAKARTA, KOMPAS - Kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta mengizinkan pendirian hotel baru sudah didahului koordinasi dengan banyak pihak. Hotel bintang 4 dan 5 dipercaya memiliki jaringan luas yang mendatangkan wisatawan.
Sejumlah pihak mengkritik kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta yang kembali mengizinkan pembangunan hotel bintang 4 dan 5 setelah moratorium lima tahun. Kebijakan itu dinilai tanpa kajian mendalam mengenai dampak maraknya pembangunan hotel terhadap kondisi lingkungan.
”Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta seharusnya melakukan audit atau kajian lebih dulu tentang dampak pembangunan hotel,” kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yogyakarta Halik Sandera, Kamis (3/1/2019), di Yogyakarta.
Sejak 1 Januari 2014, Pemkot Yogyakarta menghentikan sementara penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB) untuk semua jenis hotel. Namun, Senin (31/12/2018), terbit Peraturan Wali Kota (Perwali) Yogyakarta Nomor 85 Tahun 2018 yang mengubah kebijakan itu.
Perwali mengatur penghentian penerbitan IMB hotel baru sejak 1 Januari hingga 31 Desember 2019, kecuali untuk hotel bintang 4 dan bintang 5. Perwali membolehkan pembangunan penginapan selain hotel, misalnya homestay atau rumah inap, losmen, motel, dan sebagainya.
Menurut Pemkot Yogyakarta, kebijakan itu untuk mengantisipasi peningkatan jumlah wisatawan setelah beroperasinya bandara baru di Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta (Kompas, 3/1).
Pembangunan hotel yang marak di Yogyakarta, kata Malik, dapat berdampak negatif terhadap lingkungan, terutama ketersediaan air tanah. Hotel butuh air dalam volume besar sehingga mengurangi ketersediaan air tanah di sekitarnya.
”Dibolehkannya pembangunan hotel bintang 4 dan 5 itu akan makin berdampak pada penurunan muka air tanah di Yogyakarta,” kata Halik.
Dampak pembangunan hotel terhadap ketersediaan air tanah mengemuka pada tahun 2014. Saat itu, sejumlah warga Kampung Miliran, Kelurahan Mujamuju, Yogyakarta, mengeluh sumur-sumur mereka kekeringan. Ada pengoperasian hotel baru di dekat permukiman mereka.
Halik mengatakan, meski hotel-hotel di Yogyakarta memenuhi kebutuhan air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), dampak negatif terhadap ketersediaan air tanah masih mungkin muncul. Sebab, sebagian sumber air PDAM masih dari air tanah.
Tidak efektif
Halik juga mengingatkan, moratorium pembangunan hotel di Yogyakarta lima tahun ini sebenarnya tidak efektif menghentikan laju pertambahan hotel. Menjelang pemberlakuan moratorium 1 Januari 2014, Pemkot Yogyakarta menerima 104 permohonan IMB hotel baru. Sesuai aturan saat itu, semua permohonan IMB itu tetap diproses.
Berdasarkan data Pemkot Yogyakarta, dari 104 permohonan IMB hotel baru, 61 hotel telah mendapat IMB dan pembangunannya telah selesai. Sebanyak 15 hotel sudah memiliki IMB, tetapi masih tahap pembangunan dan 12 hotel sudah memiliki IMB, tetapi dicabut karena investornya tak sanggup membangun tepat waktu.
Selain itu, ada 15 permohonan IMB belum dikabulkan dan 1 permohonan IMB dicabut.
Ketua Komisi B DPRD Kota Yogyakarta Nasrul Khoiri meminta kebijakan mengizinkan pembangunan hotel bintang 4 dan 5 itu ditinjau lagi. Salah satu alasannya, banyak keluhan mengenai dampak negatif pembangunan hotel atau bangunan komersial lain.
Secara terpisah, Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X meminta Pemkot Yogyakarta benar-benar selektif dalam menerbitkan izin pembangunan hotel.
Sultan juga menyarankan pembangunan hotel di Yogyakarta dilakukan vertikal agar tidak memakan lahan luas. ”Tidak setiap permohonan izin dikabulkan,” katanya.
Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi mengatakan, kebijakan izin membangun hotel bintang 4 dan 5 diambil setelah berkoordinasi dengan banyak pihak. Hotel bintang 4 dan 5 punya nilai lebih karena biasanya punya jaringan yang bisa mendatangkan wisatawan.
”Hotel-hotel itu nantinya juga diwajibkan memberi ruang untuk potensi kuliner, kerajinan, dan seni budaya masyarakat sekitar,” ujarnya. (HRS)