Rabu (2/1/2019), Supriasih sibuk menata makanan untuk warga dan undangan. Sesekali ia menengok ke belakang, tempat para perempuan Tengger mengelilingi perapian menyiapkan rawon. Di halaman depan, sesepuh, tuan rumah Mujianto dan keluarganya, serta undangan dan perangkat desa mengikuti ritual adat Mayu.
Enam tahun lalu, Supriasih adalah seteru politik Mujianto yang pada hari itu kembali dilantik secara adat menjadi Kepala Desa Ngadas untuk kedua kalinya. Dua tahun terakhir, Supriasih menjadi perangkat Desa Ngadas yang dipimpin Mujianto. Desa itu ada di Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Rabu itu, warga Desa Ngadas menjalani upacara adat Mayu, yakni pelantikan secara adat Kepala Desa Ngadas terpilih. Pemilihan kepala desa berlangsung pada 11 November 2018.
Usai upacara Mayu, kepala desa milik seluruh masyarakat, bukan hanya pengusungnya.
Upacara adat Mayu bukan upacara Tengger biasa. Tradisi ini berasal dari bahasa Sanskerta yang kurang lebih berarti menggabungkan. ”Menggabungkan badan kasar kades dan badan halus penguasa desa sehingga dalam kepemimpinan ke depannya alam pun akan mendukung pemimpin desa tersebut yang meminimalkan kejadian-kejadian buruk,” kata dukun muda Ngadas, Senetram.
Senetram menjelaskan, upacara adat Mayu bukanlah pesta atau gawe kepala desa terpilih. Mayu adalah gawe seluruh warga Desa Ngadas. Hanya saja, acara dilakukan di rumah kepala desa terpilih.
Acara itu milik seluruh masyarakat Desa Ngadas. Seluruh keluarga bergotong royong patungan (iuran) untuk menggelar ritual itu. Sebulan setelah kades terpilih ditetapkan, sesepuh menggelar rapat. Rapat memutuskan besaran iuran setiap keluarga untuk menggelar hajatan pelantikan adat kades terpilih itu.
Hasilnya, ada tiga kategori keluarga: kategori A (bukan keluarga perangkat, babinsa, ketua RT/RW) dengan iuran tertinggi Rp 90.000 per keluarga, kategori B (perangkat desa) dikenai iuran Rp 70.000 per keluarga, dan kategori C (keluarga janda) Rp 50.000 per keluarga.
Warga Desa Ngadas terdiri atas 513 keluarga atau 2.025 jiwa. Patungan juga diikuti keluarga calon kades yang kalah.
”Ini pesta seluruh masyarakat, makanya semua patungan. Untuk itu, saat Mayu seperti ini, semua masyarakat berhak datang untuk makan bersama di rumah kepala desa terpilih,” kata Hariyanti, warga Tengger.
Seminggu terakhir, Hariyanti membantu memasak menyiapkan upacara Mayu. Biasanya, pukul 17.00 hingga pukul 18.00 warga berdatangan ke rumah kades untuk makan bersama.
Mujianto, Kepala Desa Ngadas terpilih periode 2018-2024, mengatakan, usai upacara Mayu, ia milik seluruh masyarakat, bukan hanya pengusungnya. ”Karena itu, kades nanti tak boleh menganaktirikan pendukung atau bukan, harus adil dan melayani semua. Semua adalah warganya,” katanya.
Upacara Mayu akan dimulai malam hari sebelumnya dengan ritual mepek (menggenapkan dengan doa). Pagi hari dilanjutkan ritual ngambeng penganggo putih (menyerahkan pakaian adat desa ke pada kepala desa terpilih), dilanjutkan ritual cemeninga (menyempurnakan), perpekan (mengagungkan), dan puncaknya ritual banten.
Pada acara puncak, perangkat, undangan, dan keluarga diikat benang putih (lawe welang) dan memakan sejumput beras. Pujian, doa memohon keselamatan, kesejahteraan, dan kebaikan bagi seluruh warga didaraskan selama prosesi acara.
Hong Bekulun...
Mugi pinaringono rahayu wilujeng, sedoyo masyarakat dusun Ngadas mriki, kalih dusun Jarak Ijo.
Bekulun...
Ritual ditutup dengan makan bersama para hadirin dan warga desa (disebut kauman).
Adat dan agama
Hal menarik dari tradisi adat Tengger itu, Mayu dilakukan seluruh warga desa tanpa sekat agama. Senetram, dukun Tengger, adalah warga pengikut ajaran Buddha. Hari itu ia mendampingi dukun sepuh memimpin upacara.
Adapun Mujianto, Kepala Desa Ngadas, adalah warga Tengger beragama Islam. Ia mengangkat para perangkat Desa Ngadas dari berbagai latar belakang agama. Ada yang beragama Islam, Hindu, dan Buddha. Semua bekerja melayani seluruh warga desa dengan ukuran ketulusan dan totalitas.
Dalam satu keluarga warga Tengger biasa dijumpai berbagai agama. ”Satu keluarga beda agama sangat banyak. Bagi kami tidak masalah agamanya apa karena kami sama-sama warga Tengger. Adat merukunkan kami,” kata Senetram.
Bagi mereka, kata Senetram, adat bukanlah milik agama, tetapi milik suku Tengger.
”Kami percaya agama diatur sendiri-sendiri, di tempat ibadah masing-masing. Namun, di rumah, kami adalah orang Tengger. Begitu pula kepala desa. Di masjid, dia Islam, tetapi di rumah ia adalah kepala desa semua warga. Saya pun di wihara adalah umat Buddha, tetapi di desa, saya adalah dukun pelaksana desa adat,” ujarnya.
Warga percaya, mencampuradukkan adat Tengger dan agama akan membuat perpecahan. Warga Tengger sepakat tak mengutak-atik adat Tengger, termasuk dengan agama. Dusun Ngadas ada sejak tahun 1774.
”Itu sebabnya, kami memegang teguh adat. Bahkan, bagi calon kepala desa, saat masih mencalonkan, kami sepakat menandatangani surat pernyataan bermeterai bahwa tidak akan mengubah adat Tengger. Jika di kemudian hari saat ia menjabat mengubah adat Tengger, ia akan diminta mengundurkan diri,” kata Mujianto.
Keguyuban warga Tengger Ngadas saat pesta Mayu itu mengingatkan ucapan Presiden Soekarno. Bahwa jika lima sila Pancasila diperas, sari patinya gotong royong. Warga Tengger Ngadas menunjukkan pada siapa saja bahwa gotong royong ampuh mempersatukan.
Politik tingkat akar rumput di desa tak lepas dari ketegangan. Para pendukung saling memengaruhi, calon yang didukunglah yang pantas menang. Tak terkecuali di Desa Ngadas, desa 2.200 meter di atas permukaan laut itu.
Namun, beratus tahun lewat, setelah pemimpin desa terpilih, perseteruan berganti persatuan. Dalam ritual adat Mayu, makan bersama jadi bagian dari kegotongroyongan.
Kisah itu bukan angan, fantasi. Namun, nyata dalam kehidupan suku Tengger di Jawa Timur. Indonesia yang memasuki tahun politik, sepatutnya belajar kepada warga Ngadas.