PADANG, KOMPAS — Generasi milenial saat ini menjadi salah satu kelompok yang mendapat perhatian khusus, terutama memasuki tahun politik. Hanya saja, ada kekhawatiran generasi ini tidak peduli dengan politik dan tidak berpartisipasi dalam pemilihan umum. Elite politik perlu mendorong partisipasi politik mereka, tidak hanya duduk di belakang meja.
Hal itu disampaikan Najmuddin M Rasul, dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, dalam meluncurkan bukunya yang berjudul Tren Perubahan Partisipasi Politik Generasi Milenial di Era Transisi ke Demokrasi di Padang, Sumatera Barat, Sabtu (5/1/2019), yang dibarengi dengan diskusi membedah buku itu.
Buku tersebut ditulis berdasarkan disertasi Najmuddin saat meraih gelar doktor di Universitas Kebangsaan, Malaysia, pada 2015. Penelitian untuk disertasi itu dilakukan pada 348 responden berusia 17-40 tahun yang tersebar di pusat kota Padang meliputi Kecamatan Padang Utara dan Padang Barat, serta pinggir Kota Padang, yakni Kecamatan Lubuk Kilangan dan Kecamatan Pauh. Penelitian dilakukan pada 2013.
Menurut Najmuddin, buku tersebut lahir dalam kondisi adanya perubahan peta komunikasi politik bangsa Indonesia dalam era transisi ke demokrasi. Perubahan itu ditandai dengan perubahan pola penggunaan media dari media massa (mainstream) ke media sosial, serta perubahan norma.
Gelombang ketiga komunikasi telah memengaruhi gaya hidup generasi muda. Tidak hanya menyokong generasi muda mendapatkan informasi dan pengetahuan yang diperlukan dengan cepat, kemajuan teknologi informasi juga berpengaruh signifikan terhadap perubahan perilaku politik generasi muda.
Dalam Pemilu 2019, kata Najmuddin, dari 192 juta calon pemilih, sekitar 50 persen adalah kelompok milenial atau mereka yang lahir pada tahun 1980 sampai 2000. ”Angka kemenangan ada di sana. Jadi, para elite politik harus memikirkan bagaimana cara menggaet suara dari sana,” kata Najmuddin.
Namun, menurut Najmuddin, sesuai hasil penelitian yang dimuat dalam bukunya, generasi milenial cenderung tidak peduli dengan politik elektoral. ”Mereka tidak peduli karena mereka tidak percaya dengan elite, aktor, atau partai politik. Mereka juga tidak percaya dengan penyelenggara dan sistem politik,” katanya.
Menurut Najmuddin, jika dibiarkan, hal itu akan menjadi masalah besar. Sebagai penyumbang suara terbanyak, jika mereka tidak ikut berpartisipasi, tingkat elektoral akan rendah.
”Partisipasi politik baik tradisional maupun modern adalah jantung demokrasi. Sebab, tanpa adanya keterlibatan dalam proses demokrasi, hasil proses demokrasi itu tidak mempunyai legitimasi. Dengan kata lain, kalau elektoral rendah, kualitas demokrasi turun,” kata Najmuddin.
Oleh karena itu, elite politik harus turun untuk melihat dan mempelajari tren perubahan yang terjadi di generasi milenial. Itu juga menjadi tanggung jawab pemangku kepentingan lain, seperti penyelenggara pemilu, partai politik, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan media. ”Tujuannya agar generasi milenial yakin dan mau berpartisipasi dalam politik elektoral,” kata Najmuddin.
Terkait media, kajiannya menunjukkan yang paling berkontribusi memengaruhi partisipasi politik generasi milenial saat ini adalah media sosial. Mereka sangat aktif memanfaatkan antara lain Facebook dan Twitter untuk mencari berbagai informasi dan latar belakang elite, sejarah, visi dan misi partai politik, sebelum mereka menentukan pilihan dalam pemilu.
Najmuddin mengingatkan, media perlu menyikapi perubahan pola pikir anak-anak muda milenial karena mereka tidak menggunakan satu media (dalam mencari informasi), tetapi mengombinasikan berita dari media mainstream dan media sosial.
Diskusi dan peluncuran buku dihadiri berbagai kalangan seperti akademisi, media, penyelenggara pemilu, mahasiswa, dan warga. Pembedah buku antara lain Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Sumbar Musliar Kasim dan Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Unand Ernita Arif.
Musliar dan Ernita menilai, buku itu menarik untuk dijadikan bahan acuan bagi pihak yang berkepentingan dalam pemilu baik penyelenggara maupun peserta pemilu. Hanya saja, mengingat pembahasannya terkait generasi milenial, disarankan buku dibuat lebih populer dan bukan disertasi yang dijadikan buku.