SEMARANG, KOMPAS - Pemerintah Provinsi Jawa Tengah fokus mengantisipasi potensi tsunami pada empat kabupaten di selatan Jateng, yakni Cilacap, Kebumen, Purworejo, dan Wonogiri. Sebanyak 1,1 juta jiwa tinggal di empat daerah yang berpotensi terkena tsunami tersebut.
Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jateng, Sarwa Pramana, Senin (7/1/2019), mengatakan hingga kini, pihaknya masih meyakini potensi sesar tsunami di empat daerah tersebut. Itu mengacu data yang diberikan BNPB.
Sarwa menuturkan, apabila ada temuan sesar aktif di daerah lain, seperti pantai utara Jawa, pihaknya percaya. "Namun, hingga sekarang saya belum menerima dokumen resminya. Kalaupun ada, perlu segera direspons dan dirilis ke masing-masing wilayah," ujar Sarwa.
Sebelumnya, jurnal ilmiah internasional mengungkapkan aktifnya jalur patahan di Pulau Jawa. Termasuk di dalamnya laju tekanan dilatasi zona patahan besar di patahan Kendeng, dari Semarang ke Jawa Timur sampai Selat Madura. (Kompas, Senin 7/1).
Menurut Sarwa, dari kajian dan penelitian yang ada, gempa juga berpotensi terjadi di wilayah Jateng bagian utara. Namun, jikapun terjadi, gempat tersebut bukan yang berpotensi terjadi tsunami.
Karena itu, terkait ancaman tsunami, pihaknya fokus pada empat kabupaten di Jateng Selatan, karena mengancam 1,1 jiwa. Berdasarkan data BPBD Jateng, Cilacap menjadi daerah yang paling berpotensi terdampak tsunami, yakni 11 kecamatan, 87 desa, dengan jumlah penduduk 1 juta jiwa.
Menurut Sarwa, sistem peringatan dini (early warning system) sudah terpasang di Cilacap. "Namun, masalahnya, tidak ada bangunan tahan gempa dan tsunami di sana. Mau tak mau, selain kearifan lokal, harus dibangun tempat evakuasi akhir dengan ketinggian lebih dari 15 meter. Selain itu, sosialisasi selama ini terus kami lakukan," ujarnya.
Selain pembangunan tempat evakuasi akhir oleh pemerintah pusat, Sarwa berharap pemerintah kabupaten/kota memberi perhatian lebih pada kebencanaan. Saat ini, rata-rata anggaran untuk kebencanaan di kabupaten/kota di Jateng berkisar Rp 3 miliar-Rp 4 miliar. Adapun terbesar yakni Kebumen, yakni Rp 14 miliar.
Menurut Sarwa, kendala selama ini, keperluan aset kebencanaan ibarat lilin ketika listrik menyala, atau tidak berguna saat tak terjadi bencana. "Namun, nyatanya, ancaman itu ada. Saya yakin (perhatian lebih) bisa diberikan. Tergantung pemimpinnya. Sebab, tanggung jawab pertama bukan pada pusat atua provinsi, tetapi kabupaten/kota," katanya.