Kolaborasi Pejabat dan Pengusaha untuk Korupsi Masif Terjadi
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS – Praktik korupsi anggaran daerah di Provinsi Aceh selama tahun 2018 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Perilaku koruptif terutama kolaborasi antara pejabat pemerintah dan pengusaha masif terjadi dan terbukti menghambat pembangunan dan merugikan publik.
Catatan akhir tahun lembaga antikorupsi Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menyebutkan, pada 2018 terjadi sebanyak 41 kasus korupsi di Aceh. Adapun jumlah tersangka sebanyak 86 orang dengan nilai kerugian keuangan negara Rp 399 miliar. Kasus korupsi di Aceh pada 2018 itu meningkat dari tahun 2017 yang hanya 33 kasus.
“Nilai kerugian kasus korupsi 2018 di Aceh setara dengan 4.984 unit rumah layak huni. Jika uang itu dipakai untuk pembangunan rumah bagi warga miskin tentu lebih bermanfaat,” kata Kepala Divisi Hukum dan Politik MaTA Aceh Baihaqi, Selasa (8/1/2019).
Pantauan MaTA Aceh dilakukan pada kasus korupsi yang masuk tahapan penyidikan hingga putusan pengadilan. Kenaikan jumlah kasus yang terjadi pada tahun 2018 dibandingkan tahun 2017 menandakan praktik korupsi keuangan daerah makin masif terjadi.
Aparatur pemerintah dan swasta atau pengusaha kerap bekerjasama melakukan korupsi uang negara.
Dari 86 tersangka koruptor selama 2018, sebanyak 51 di antaranya merupakan aparatur pemerintah atau pegawai negeri sipil, disusul swasta 26 orang, legislatif 1 orang, dan sisanya pihak lain. Dalam banyak kasus, kata Baihaqi, aparatur pemerintah dan swasta atau pengusaha kerap bekerjasama melakukan korupsi uang negara.
Sebagai contoh kasus korupsi dana otonomi khusus yang menjerat Gubernur Aceh nonaktif Irwandi Yusuf dan pengusaha Teuku Saiful Bahri. Selain itu, kasus korupsi pembangunan dermaga Pelabuhan Sabang juga menyeret pejabat perusahaan pemenang tender dan Irwandi Yusuf.
Baihaqi menuturkan, korupsi menjadi penghambat dalam pembangunan. Orientasi pembangunan seharusnya untuk menghadirkan kesejahteraan bagi warga, bukan justru dimanfaatkan oleh elit memperkaya diri.
“Melihat hal itu, kepala daerah di Aceh perlu membenahi sistem dan managemen di struktur pemerintahan dalam hal pengadaan barang. Pemerintah juga harus lebih selektif dalam menentukan rekanan,” kata Baihaqi.
Dana desa
Baihaqi menambahkan, beberapa tahun terakhir korupsi mulai terjadi hingga di tingkat pemerintaha desa. Selama 2017-2018 sebanyak 16 orang perangkat desa jadi tersangka korupsi. “Sejak digulirkan dana desa, potensi korupsi juga ikut bergeser ke level desa,” ujar Baihaqi.
Koordinator Bidang Penyelesaian Laporan Ombudsman Wilayah Aceh Rudi Ismawan mengatakan dana desa rawan dikorupsi karena pendampingan dan pengawasannya masih lemah. Ombudsman menemukan di beberapa desa koordinasi antara kepala desa dengan pendamping desa tidak berjalan.
Selain itu, kata Rudi, kepala desa tidak menerapkan prinsip transparansi dalam mengelola anggaran karena rendahnya pengetahuan kepala desa terhadap sistem pengelolaan anggaran. “Sebagian kepala desa merasa menjadi raja kecil yang berkuasa penuh mengelola anggaran,” kata Rudi.
Pelaksana Tugas Gubernur Aceh Nova Iriansyah mengatakan, praktik korupsi masih terjadi di kalangan pegawai pemerintah. Sektor yang rawan terjadi korupsi perencanaan anggaran, pengadaan barang dan jasa, perizinan, dan rekrutmen pegawai.
Nova mengingat apatur pemerintah untuk bekerja sesuai aturan untuk menghindari tindak pidana korupsi. “Saya ingatkan, pegawai negeri yang melakukan korupsi diberhentikan dengan tidak hormat," kata Nova.