Dari Puing Menjadi Monumen Kenangan Terang
Memori tentang bencana bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk. Di Palu, Sulawesi Tengah, seni instalasi dari puing bekas sapuan tsunami jadi alternatif untuk mengenang bencana agar tetap diingat dan membantu penyadaran untuk menyesuaikan hidup dengan kondisi alam.
Celana panjang dan kain bantal guling menggantung di bambu yang pecah. Ujung bambu ditutup helm sepeda motor. Sementara di tiang balok tipis di bagian kanan, menggantung tas jinjing bermotif timbulan kecil.
Di bagian lain, sandal dan sepatu tergeletak rapi di potongan sampan. Di depannya, menumpuk bekas seng pelat. Sisi baratnya dihiasi kusen jendela yang tak lagi utuh.
Ada pula kerangka televisi dengan bekas bagian tombol di sisi kiri dan kanannya diletakkan pada balok. Di sampingnya ada akar kayu meranggas. Sementara sepotong seng dipaku pada kayu yang lebih tinggi bagai kain penunjuk arah tiupan angin.
Perpaduan berbagai barang bekas itu merupakan seni instalasi yang disusun seniman Jepang, Daisuke Takeya, bersama Kukuh Ramadan dan Rahmadiyah Tria Gayatri dari Forum Sudut Pandang Palu, Sulawesi Tengah.
Seni instalasi itu dipamerkan di areal bekas reklamasi Teluk Palu, Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Senin (7/1/2019). Seni instalasi itu bertajuk ”Yellow Memories” yang diterjemahkan sebagai ”Kenangan Terang”.
Semua materi instalasi dicat kuning. Hal itu membuat karya seni tersebut tampak mencolok di tepi Teluk Palu. Panjang instalasi sekitar 25 meter dengan lebar 6 meter. Terdapat jalan setapak dari potongan kayu untuk berjalan atau duduk santai di sekitarnya. Seni instalasi tersebut akan diletakkan di lokasi tersebut untuk dinikmati warga dan para pengunjung.
Materi seni instalasi itu berasal dari barang-barang yang tersapu tsunami yang dipicu gempa bermagnitudo 7,4 pada 28 September 2018. Selain tsunami di wilayah Kota Palu dan Kabupaten Donggala, terjadi gempa yang memicu likuefaksi di empat titik di Palu dan Kabupaten Sigi. Ribuan korban meninggal serta ratusan rumah hilang dan rusak berat.
Di awal pameran, Takeya menampilkan pertunjukan untuk memperkuat makna instalasi. Ia mengelilingi instalasi, menyobek pakaiannya, lalu menempelkan potongan ranting kayu di badannya.
Ia menyebutkan angka ”1” untuk merujuk hari pertama terjadinya bencana dan ”100” guna mengingatkan orang bahwa gempa bumi di Sulteng sudah memasuki hari ke-100 pada 6 Januari 2019. Setiap angka itu ia ucapkan 100 kali.
Takeya mengatakan, instalasi digarap selama sembilan hari. Selain bersama anggota Forum Sudut Pandang, sejumlah warga penyintas tsunami turut terlibat dalam pengerjaan seni instalasi tersebut.
”Barang-barang ini memiliki koneksi dengan penyintas. Dengan merangkai menjadi karya seni, ada hubungan emosional untuk mengingat bencana dalam perspektif seni. Harapannya, penyintas cepat pulih seperti material yang dirangkai jadi karya seni,” ujarnya.
Terhubung emosi
Takeya melakukan proyek serupa pascatsunami menghantam Jepang pada tahun 2011. Ia melakukan itu untuk mengimbangi respons pemerintah yang cenderung memulihkan kondisi pascagempa dengan bangunan-bangunan megah, tetapi sering tak terhubung dengan emosi penyintas.
”Meskipun instalasi ini bersifat temporal, saya berharap ingatan penyintas tetap bertahan lama dalam konteks pemulihan pascabencana,” kata Takeya yang saat ini tinggal di Kanada. Ia menyebut seni instalasi itu temporal karena sebagian besar materi dari kayu yang suatu saat akan lapuk oleh matahari dan hujan.
Rahmadiyah mengatakan, dalam penggarapan seni instalasi, Takeya cenderung merangkai kayu. Sementara Kukuh fokus mengatur posisi barang-barang domestik, seperti televisi dan tangki fiber.
”Saya mengurus hal-hal yang terkait mainan anak-anak, antara lain sisir dan boneka. Semua dikumpulkan dan terhubung jadi sebuah karya seni,” kata Rahmadiyah.
Terkait pemilihan warna kuning, Rahmadiyah menjelaskan, hal itu mewakili corak khas Kota Palu yang disinari matahari terik. Kuning melambangkan terang.
”Dengan warna kuning, lokasi yang dipenuhi puing ini menjadi menarik, membawa keceriaan bagi penyintas,” ujarnya. Bagi arkeolog yang juga Wakil Kepala Museum Sulawesi Tengah Iksam, kuning sangat dekat dengan masyarakat Sulteng.
Warna kuning mendominasi pakaian dan ornamen adat di Sulteng. Warna kuning mewakili keagungan. Keagungan itu menggambarkan keindahan alam, antara lain angin dan laut.
”Namun, jika tidak diatur dengan baik, keindahan bisa membawa bencana. Itulah yang terjadi pada 28 September 2018,” kata Iksam.
Ia mengingatkan masyarakat agar belajar dari bencana tersebut. Slogan yang saat ini didengungkan dan dipampang di berbagai media, seperti ”Palu Bangkit”, ”Palu Kuat” atau ”Sulteng Kuat”, jangan menjadi ”Palu Lupa” di kemudian hari.
Kesadaran untuk tidak lupa, salah satunya diingatkan lewat seni yang diharapkan terwujud dalam kebijakan mitigasi ke depan.
Seni instalasi dari puing sisa bencana itu menyiratkan pesan kuat agar peristiwa kehancuran itu menyadarkan pengambil kebijakan dan masyarakat untuk memitigasi bencana. Dengan demikian, tak lagi banyak korban jiwa di masa depan. (VIDELIS JEMALI)