MEDAN, KOMPAS — Kasus pemeliharaan orangutan sumatera di daerah penyangga Taman Nasional Gunung Leuser di Kecamatan Kuta Buluh, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, diproses hukum. Upaya tersebut diapresiasi karena selama ini hanya perdagangan orangutan yang diproses hukum. Pemelihara orangutan selama ini tidak dipidana, hanya satwanya yang disita.
”Hari ini kami menerima barang bukti pemeliharaan orangutan sebagai tanda dimulainya proses hukum. Barang bukti berupa bangkai orangutan, yakni bagian kepala, lengan, dan bulu. Ada juga baju dan rantai orangutan tersebut,” tutur Kepala Seksi Wilayah I Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera Haluanto Ginting, Rabu (9/1/2018). Barang bukit itu diterima dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara.
Kasus pemeliharaan satwa dilindungi tersebut terkuak dari video yang beredar di media sosial pada Desember lalu. Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) bersama Kodim 0205 Tanah Karo pun menelusuri kebenaran video tersebut ke Karo.
Petugas akhirnya menemukan masyarakat yang memelihara orangutan tersebut di Desa Rih Tengah, Kecamatan Kuta Buluh. Namun, orangutan itu tidak ditemukan lagi. Hanya bangkainya yang ditemukan yang sudah dikubur di dekat rumah. Petugas pun membawa sejumlah barang bukti dari desa tersebut.
Haluanto menyebutkan, mereka memutuskan untuk memproses hukum kasus pemeliharaan orangutan tersebut. Memelihara atau memiliki satwa dilindungi dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pihaknya akan segera memanggil warga yang diduga menangkap dan memelihara satwa tersebut. ”Kami juga akan meminta keterangan saksi ahli,” katanya.
Ketua Yayasan YOSL-OIC Panut Hadisiswoyo menuturkan, pihaknya mengapresiasi proses hukum terhadap pihak yang memelihara dan memiliki satwa dilindungi, khususnya orangutan.
”Selama ini sudah dilakukan upaya persuasif terhadap masyarakat yang memelihara orangutan, tetapi kasus perburuan tetap saja masih marak. Proses hukum ini akan memberikan efek jera sehingga mengurangi permintaan satwa dilindungi di pasar gelap,” ujarnya.
Menurut Panut, selama ini belum ada masyarakat yang diproses hukum karena memiliki atau memelihara orangutan. Petugas biasanya hanya melakukan upaya persuasif dengan menyita orangutan yang dipelihara masyarakat. Proses hukum hanya dilakukan pada perdagangan satwa.
Selama ini belum ada masyarakat yang diproses hukum karena memiliki atau memelihara orangutan. Petugas biasanya hanya melakukan upaya persuasif dengan menyita orangutan yang dipelihara masyarakat.
Padahal, kata Panut, Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dengan tegas melarang memelihara, menyimpan, memiliki, dan memperdagangkan satwa dilindungi dengan ancaman penjara paling lama 5 tahun. Penerapan pasal tersebut dinilai sangat penting di tengah status orangutan yang kini terancam punah.
”Orangutan yang dipelihara masyarakat berpotensi mati, diserang penyakit, dan diperdagangkan,” lanjutnya.
Panut mengatakan, orangutan tersebut diperkirakan berusia 2 tahun dan sebelumnya hidup di Taman Nasional Gunung Leuser. Berdasarkan kasus-kasus perburuan sebelumnya, induk orangutan biasanya ditembak agar melepaskan anaknya dari pelukannya. Karena itu, temuan seekor anak orangutan biasanya mengindikasikan adanya induk yang terluka atau mati.
Panut mengatakan, saat ini ada sekitar 3.000 orangutan yang direhabilitasi di Indonesia. Jumlah orangutan yang disita setiap tahun berkurang. Sepuluh tahun lalu, sekitar 30 orangutan disita setiap tahun. Beberapa tahun belakangan jumlahnya menurun menjadi 10-15 ekor orangutan per tahun.
Menurut Panut, perburuan orangutan masih terus terjadi karena permintaan dari masyarakat masih tinggi. Perburuan orangutan juga terjadi seiring dengan pembukaan tutupan hutan dan akses jalan ke habitat orangutan.