DEMAK, KOMPAS - Petani padi di sejumlah daerah di Jawa Tengah kini kesulitan mendapat tenaga kerja. Untuk mencapai target produksi padi 6-7 ton per hektar, mereka sangat bergantung pada teknologi mesin tanam ataupun panen.
Para petani padi di Kecamatan Kebonagung dan Kecamatan Dempet, Kabupaten Demak, Selasa (8/1/2019), menuturkan, kian sulit mendapatkan buruh tani. Banyak anak muda tidak mau bekerja di sawah. Kaum perempuan hanya bisa diandalkan saat panen.
”Tradisi menanam padi tidak bisa lagi diwariskan ke generasi muda. Padahal, selama 90 hari, mulai dari awal tanam padi sampai panen butuh 20-30 buruh tani,” ujar Sanubi (50), petani di Dempet.
Buruh tani dibutuhkan untuk mengolah sawah, menjalankan traktor atau bajak, menanam padi, menyiangi tanaman, membersihkan rumput, menjaga sawah, menebar pupuk, hingga tenaga panen.
Hariyadi (49), petani di Kebonagung, mengatakan, selain kelangkaan buruh tani, upah makin mahal. Lima tahun terakhir, upah buruh tani naik lebih dari 150 persen. Saat ini, upah tenaga panen Rp 100.000 per orang per hari di luar biaya makan dan rokok.
Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Demak Wibowo menyatakan, dengan luas tanaman padi 52.315 hektar dan dua kali panen dalam setahun, petani sangat bergantung pada mesin pemanen.
Hal itu untuk mempercepat panen dengan kualitas gabah lebih baik daripada panen dengan tenaga manusia. Jika dipanen manual, gabahnya lebih sedikit sekitar 15 persen dari rata-rata produksi 7 ton per hektar.
Untuk itu, pemerintah daerah berupaya memenuhi kebutuhan alat dan mesin pertanian. Selama 2018, Kementerian Pertanian menyalurkan bantuan 37 mesin pemanen kecil, 10 mesin pemanen sedang dan 26 mesin pemanen besar.
”Mesin pemanen besar sangat cocok untuk panen di lahan sawah dengan kedalaman lumpur lebih dari 30 sentimeter, yakni sawah irigasi teknis. Kami berusaha meminta bantuan mesin pemanen besar bagi petani di Demak,” ujar Wibowo.
Produk lokal
Pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 99 Tahun 2018 mengenai Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan dan Industri Lokal Bali.
Hotel, restoran, dan toko swalayan diharuskan menggunakan produk lokal hingga 60 persen. Peraturan ini diapresiasi kelompok usaha tani. Mereka berharap, keberpihakan itu tidak hanya di atas kertas.
Masalahnya, ketika petani memasok produk lokal ke pengusaha, pembayaran tidak tunai, selain itu belum ada asuransi yang melindungi produk lokal.
Pemilik UD Bali Prima, I Wayan Sugiarta, berharap, pergub segera diikuti petunjuk pelaksanaan. ”Melawan produk impor tidak mudah, apalagi masyarakat umum terbiasa mengonsumsinya karena tampilannya lebih menarik. Semoga bukan hanya wacana saja,” katanya, Selasa.
Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Bali Ida Bagus Wisnu Ardhana berjanji segera menyusun aturan lanjutan dari pergub. (WHO/AYS)