SUKABUMI, KOMPAS - Warga Desa Sirnaresmi bahu-membahu membantu pemerintah memetakan retakan dan potensi pergerakan tanah. Hal itu bisa meminimalkan risiko bencana pada masa depan.
Para penyintas bencana alam longsor di Kampung Garehong, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, akan membantu pemerintah kabupaten memetakan potensi pergerakan tanah susulan. Langkah itu dilakukan penyintas untuk memastikan kawasan relokasi layak bagi mereka.
”Warga sepakat terus memberikan informasi kepada aparat Pemkab Sukabumi terkait kondisi daerah di sekitar lokasi longsor. Kami berharap peran serta masyarakat bisa meringankan tugas pemerintah,” kata Kepala Desa Sirnaresmi Iwan Suwandri di Sukabumi, Selasa (8/1/2019).
Ketangguhan penyintas longsor Garehong terlihat saat bencana terjadi pada akhir 2018. Banyak di antara mereka membantu proses evakuasi meski tengah berduka karena kehilangan anggota keluarga akibat longsor. Hal itu memudahkan proses pencarian. Dalam waktu 7 hari, 32 korban meninggal ditemukan meski terkubur hingga kedalaman 3-4 meter.
”Saya meminta kepada para kepala kampung di Sirnaresmi untuk memberikan laporan terkait pergerakan tanah dan ancaman longsor di lokasi masing- masing. Jika ada warga melihat rekahan tanah di perbukitan, segera laporkan kepada petugas desa atau aparat,” kata Iwan.
Kepala Kampung Cipagon, Juhri mengatakan, sudah melaporkan potensi longsor di Kampung Cibalandongan. Kampung itu tak jauh dari Garehong dan konturnya mirip. Ada 115 rumah di Cibalandongan, dihuni sekitar 400 warga. ”Retakan-retakan sudah mulai timbul di beberapa titik persawahan,” ujarnya.
Asep Sutiawan (32), warga Kampung Gunung Uweuk, menuturkan, di kampungnya muncul retakan tanah yang dikhawatirkan dapat memicu longsor besar. ”Retakan tidak jauh dari rumah saya, sekitar 10 meter. Longsor Garehong membuat saya dan keluarga makin waspada,” ujarnya.
Kepala Seksi Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sukabumi Eka Widiaman mengatakan, laporan tentang kerawanan kawasan dari warga sangat diharapkan. Hal itu membantu memetakan kawasan untuk meminimalkan risiko bencana.
Waspada gempa
Empat dari lima kejadian gempa bumi yang terjadi pada 7-8 Januari dirasakan warga di beberapa daerah di Jabar. Belum ada laporan kerusakan dan tidak ada gempa yang memicu tsunami. Namun, kondisi itu sempat membuat warga khawatir.
Senin (7/1/2019) pukul 22.04, gempa dengan kekuatan Magnitudo 4,8 mengguncang Tasikmalaya. Pusat gempa di laut berjarak 62 kilometer barat daya Tasikmalaya dengan kedalaman 21 kilometer. Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), gempa terasa di Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Pangandaran, dan Bandung.
Pukul 23.58, warga Pangandaran kembali digoyang gempa M 4,5. Kali ini, pusat gempa berjarak 69 km tenggara Cilacap, Jawa Tengah. Hari Selasa (8/1), gempa M 4,2 terjadi pada pukul 15.56. Pusatnya di laut lepas, 302 km barat daya Pangandaran dengan kedalaman 32 km. Karena jaraknya jauh, getarannya tidak terlalu terasa.
Gempa yang lebih dekat dan dangkal muncul, Selasa pukul 16.54. Pusat gempa berkekuatan M 5,4 itu berjarak 113 km barat daya Kota Sukabumi dengan kedalaman sekitar 10 km. Gempa terasa di Sukabumi, Bandung, hingga Tasikmalaya.
Selanjutnya, gempa berkekuatan M 4.4 terjadi pukul 18.05. Pusat gempa di kedalaman 10 km berjarak 289 km barat daya Pangandaran. Getaran juga terasa di Tasikmalaya, Sukabumi.
Ahli gempa bumi dari Institut Teknologi Bandung, Irwan Meilano, mengatakan, gempa bumi pada 7-8 Januari itu bukan fenomena luar biasa. Gempa tidak terkait zona subduksi, tetapi dalam zona lempengan.
”Beberapa tahun terakhir, gempa bumi seperti ini sering terjadi. Namun, semua pihak harus tetap waspada. Meski magnitudonya tidak terlalu besar, potensi merusak tetap ada, seperti di Tasikmalaya tahun 2017,” katanya.
Pada 24 April 2017, gempa bumi berkekuatan M 5,4 dengan titik gempa berjarak 58 km dari Tasikmalaya berkedalaman 13 km, merusak 43 rumah.(RTG/SEM/CHE)