Mobil ”Berenang” di Sungai Pulau Seram
Minimnya infrastruktur jembatan di Pulau Seram, Maluku, ”memaksa” warganya bertaruh nyawa saat menyeberangi sungai yang deras. Ironisnya, anggaran untuk membangun infrastruktur di sana justru dikorupsi.
Dari pinggir Sungai Wailoa, Pulau Seram, Maluku, Ahmad Tuahayo (38) mengambil ancang-ancang untuk menyeberangkan mobil melewati badan air.
Gemuruh air yang mengalir kencang setelah hujan deras itu membuat gugup penumpangnya. Kini hanya ada dua pilihan, menyeberang petang ini atau menunggu hingga besok pagi.
Setelah Ahmad menarik napas panjang dan mengucapkan bismillah, pedal kopling perlahan dilepas. Ban mobil mulai bergerak maju menerobos air, menabrak batu-batu lepas, dan melindas pasir.
Semakin ke tengah, arus air yang mengenai badan mobil berkapasitas delapan penumpang itu mulai terasa. Mobil seperti terdorong air yang bergerak kencang akibat hujan di hulu pada suatu petang, Desember 2018.
Air mulai masuk ke dalam mobil mengenai kaki penumpang. Di titik itu kedalaman air diperkirakan sekitar 1,5 meter. Mobil pun melayang sehingga terasa seperti berada di dalam perahu motor. Agar mesin tetap menyala, kaki Ahmad terus menginjak pedal gas.
Sopir yang tidak cekatan dan membuat mobil mogok sama halnya menyerahkan mobil kepada arus sungai untuk dibuang ke laut.
Menghadapi situasi itu, penumpang di mobil Ahmad panik. Bahkan, ada yang mengambil ancang-ancang membuka pintu jika mesin mobil mati. ”Tenang,” ujar Ahmad.
Mobil terus bergerak hingga ban kembali menyentuh batu. Selama lebih kurang tiga menit, Ahmad dan penumpang bersama mobil bergulat dalam sungai selebar lebih kurang 50 meter itu. Pengalaman delapan tahun melintasi jalur itu membuat Ahmad tidak kesulitan mengantar mobil tiba ke seberang sungai.
”Sebelum injak gas, tanya hati dulu. Kalau rasa ragu-ragu, lebih baik mundur. Bawa mobil di sini seperti bawa tank amfibi dan kapal selam. Di sini mobil bisa berenang dan menyelam, ha-ha-ha,” katanya.
Untuk membawa mobil menyeberangi sungai di sana, teknik, insting, dan nyali saja tak cukup. Kondisi mobil harus sesuai medan. Mobil-mobil yang beroperasi di daerah itu kebanyakan ditinggikan shockbreaker-nya. Saringan udara dibalik agar tidak kemasukan air.
Sungai Wailoa di Desa Laimu, Kecamatan Telutih, Kabupaten Maluku Tengah, merupakan salah satu sungai di pesisir selatan Pulau Seram yang belum memiliki jembatan. Proyek pembangunan jembatan masih berlangsung.
Dan bukan hanya Wailoa. Dalam rentang jarak sekitar 200 kilometer dari Masohi, ibu kota Kabupaten Maluku ke arah timur, terdapat 18 sungai dan anak sungai yang belum memiliki jembatan.
Bahkan, kondisi beberapa sungai lebih membahayakan ketimbang Wailoa. Pejalan kaki serta pengendara motor dan mobil harus berhitung dengan matang jika hendak menyeberang.
Menyeberangi sungai itu ibarat bertaruh nyawa. Terseret arus itu biasa, sedangkan lolos dari arus adalah mukjizat. Warga setempat meyakini itu.
Arus sungai yang ganas membawa batu dan potonganpotongan kayu. Tidak terhitung berapa banyak kendaraan yang hanyut dibawa air sungai ke laut. Selain itu, juga karung kopra, pala, cengkeh, beras, dan semen yang ikut hanyut.
Samy (50), sopir lainnya, mengatakan, pada Juli 2018, sebuah mobil baru yang dia kemudikan hanyut ke laut saat menyeberang sungai. Pemilik berteriak histeris melihat mobilnya yang belum lunas dibayar itu digulung air. Saat itu Samy beruntung bisa melompat keluar mobil.
Dengan kondisi ketiadaan jembatan itu, tidak mengherankan jika cuaca mendung di daerah hulu sungai, banyak sopir yang mengemudi dengan kecepatan tinggi di jalur itu agar tidak keburu turun hujan.
Mereka tidak ingin air kiriman yang deras dari hulu menghalangi perjalanan. Mereka berhitung, sebelum air tiba, mereka harus sudah menyeberang sungai.
”Kaka, mohon maaf. Beta lari (kecepatan tinggi),” kata Abuwas (40), salah seorang sopir, kepada penumpangnya.
Ia memacu mobilnya di kisaran 80 kilometer per jam. Beberapa kali ban mobilnya bergerak keluar jalur saat berpapasan dengan kendaraan di tikungan yang sempit.
Terisolasi
Datangnya musim timur, di mana hujan dan angin terjadi sepanjang Mei hingga September, menjadi petaka bagi mereka. Cuaca buruk itu menyebabkan warga terisolasi selama berhari-hari.
Jika ingin keluar dari daerah itu, mereka dihadapkan pada pilihan melewati jalan darat dengan risiko hanyut dibawa air atau memilih rute laut dengan risiko gelombang. Kebanyakan warga memilih berdiam di rumah.
Kopra, pala, dan cengkeh yang hendak dijual ditampung dulu. Jika terdesak kebutuhan, petani kadang menjualnya dengan harga murah kepada tengkulak. Tak heran jika di daerah pesisir yang menjadi lumbung penghasil sejumlah komoditas itu banyak warganya yang hidup miskin.
Yang juga menjadi masalah, ketika ada warga yang membutuhkan perawat atau ada ibu hamil yang kesulitan melahirkan. Banyak pasien tidak dapat diselamatkan lantaran rumah sakit hanya ada di ibu kota kabupaten.
”Kami hanya bisa berdoa. Usaha kami mentok di sungai,” kata Hanry Rehy, tokoh agama di Telutih, Kabupaten Maluku Tengah.
Korupsi Trans-Seram
Ironisnya, proyek pembangunan jalan Trans-Seram di Pulau Seram itu diwarnai praktik korupsi. Pada Januari 2016, Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan operasi tangkap tangan terhadap anggota Komisi V DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Damayanti Wisnu Putranti, yang terlibat kasus suap.
Suap dimaksud terkait pembangunan jalan di sana. ”Betapa hancurnya hati masyarakat Seram mendengar kabar itu,” ucap Hanry.
Andaikan para elite itu melihat langsung kondisi infrastruktur di Seram, mobil yang berenang di sungai, atau ibu-ibu yang meninggal tak tertolong karena tak ada jembatan penyeberangan, mereka tentu akan berpikir ulang jika hendak mengorupsi proyek infrastruktur di pelosok. Itu pun selagi mereka masih memiliki hati nurani.