MATARAM, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Bupati Lombok Barat sudah mengeluarkan surat edaran dan peraturan bupati guna mencegah perkawinan usia dini. Namun, aturan dan ketentuan itu dinilai belum bisa menghambat laju pernikahan usia dini yang masih tinggi di NTB.
”Berdasarkan penelitian Universitas Indonesia 2016-2018, pernikahan usia dini sebesar 56 persen, khususnya di Lombok. Realita di lapangan memang begitu,” ujar M Rais, pemerhati adat istiadat Sasak, Lombok, Rabu (8/1/2019), seusai mengikuti pertemuan bertema ”Strategi Pencegahan Usia Anak” di Kantor Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A), Desa Giri Menang, Pusat Pemerintahan Pemkab Lombok Barat.
Menurut Kepala Bagian Humas Lombok Barat Saeful Ahkam, Pemkab Lombok Barat menerbitkan Perbup Nomor 30 Tahun 2018 tentang Pencegahan Perkawinan Usia Anak. Dalam perbup itu, semua pihak perlu mendukung upaya mencegah pernikahan usia dini.
Sayangnya, masih saja masyarakat di sejumlah desa jelas melanggar dan masih membiarkan pernikahan usia muda.
Hanya perbup itu dinilai belum mampu menghambat perkawinan usia dini. ”Sayangnya masih saja masyarakat di sejumlah desa jelas-jelas melanggar dan masih membiarkan pernikahan usia muda,” ujar Saeful Ahkam.
Catatan Kompas, Gubernur NTB (saat Zainul Majdi) menerbitkan Surat Edaran/ Pendewasaan Usia Perkawinan tahun 2014. Isinya, usia menikah minimal 21 tahun bagi laki-laki dan perempuan. SE itu diterbitkan karena UU No 16/1974 tentang perkawinan yang dinilai kurang sejalan dengan kondisi kekinian.
Dalam UU ini disebutkan, perempuan dan laki-laki menikah masing-masing usia 16 tahun dan 19 tahun. Karena memiliki dasar hukum, tidak sedikit pasangan menikah usia dini. Karena belum dewasa secara fisik dan psikis, rumah tangganya tidak langgeng karena banyak di antara pasangan muda itu bercerai.
Pemkab Lombok Barat menganggap penting pencegahan usia dini. Untuk itu ditetapkan Gerakan Antik Merarik (menikah) Kodek (kecil) guna mendukung Perbup Lombok Barat. ”Alhamdulillah melalui Gerakan Anti Merariq Kodeq atau Gamak ini, sudah mulai menekan angka pernikahan dini menjadi nol persen,” ujar Kepala DP2KBP3A Ramdan Hariyanto.
Namun, data di Lombok Barat itu belum mewakili kondisi riil di Pulau Lombok. Misalnya, pantauan Zurhan Apriadi dari Yayasan Tunas Alam Indonesia Mataram, selama 2010-2016 persoalan pernikahan dini masih relatif tinggi.
Contohnya, dalam kurun 2010-2016 di Desa Lenak Lauk, Lombok Timur, tercatat 132 pernikahan yang 50 persen di antaranya pasangan menikah muda. Kemudian di Desa Wanasaba, Lombok Timur, ada 42 peristiwa nikah, yang 22 pasangan di antaranya menikah usia dini.
Padahal, dalam hukum adat Sasak, perempuan Sasak dianggap dewasa ketika Ia bisa memproduksi 144 lembar kain tenun, dihitung dari proses mengumpulkan bahan baku, membuat motif, kemudian menggarap menjadi kain tenun.
Kalau jumlahnya 144 lembar, kira-kira gadis itu nanti mencapai 22 tahun, saat itulah perempuan bisa memilih berumah tangga.
Selembar kain tenun dari proses produksi sampai siap pakai memerlukan waktu penyelesaian sebulan. ”Kalau jumlahnya 144 lembar, kira-kira gadis itu nanti mencapai 22 tahun, saat itulah perempuan bisa memilih berumah tangga,” ujar Rais.
Oleh sebab itu, jika belum berusia 22 tahun, calon pengantin perempuan-laki-laki ditunda pernikahan atau ”Belas” dalam adat istiadat Sasak. Belas atau pisah dilakukan untuk sementara waktu sampai pasangan calon pengantin memenuhi standar usia menurut aturan adat. ”Aturan-aturan itu diperkuat awiq-awiq (hukum dan sanksi) yang disepakati masyarakat tiap dusun-desa,” kata Rais.
Tokoh agama Haji Moh Nurhayat, pemimpin Ponpes Al Madani Desa Kuripan Utara, Lombok Barat, mengatakan, dari sisi syariat Islam, awiq awiq dikategorikan ”kuruf” (kebiasaan) dan konsensus masyarakat serta menjadi pegangan ketetapan hukum. ”Jika dipandang baik oleh masyarakat dan tidak bertentangan dengan agama, ya silakan ikuti kuruf ini,” ujar Nurhayat.