YOGYAKARTA, KOMPAS — Tim kuasa hukum korban atau penyintas dugaan pelecehan seksual yang menimpa mahasiswi Universitas Gadjah Mada, meminta aparat kepolisian bekerja secara adil. Mereka juga menginginkan keterbukaan informasi perkembangan kasus tersebut dari pihak universitas.
Kasus dugaan pelecehan seksual itu dialami mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, sewaktu menjalani kuliah kerja nyata (KKN) di Pulau Seram, Maluku, pada 2017. Pelakunya merupakan mahasiswa dari Fakultas Teknik UGM, yang juga mengikuti KKN bersama korban.
“Kami mendorong kepolisian menuntaskan proses penyidikan secara adil dan setara sampai di pengadilan sebagai bentuk pemenuhan keadilan terhadap penyintas,” kata Catur Udi Handayani, ketua tim kuasa hukum korban, di Yogyakarta, Kamis (10/1/2019).
Udi menceritakan, sebenarnya, korban enggan membawa kejadian yang dialaminya itu ke ranah hukum. Ia khawatir hal itu justru membuat kondisi psikologisnya semakin tertekan.
“Penyintas (atau korban) sebetulnya dari awal tidak memilih jalur hukum. Memang hanya ingin memberikan sanksi etik kepada pelaku,” kata Udi.
Namun, pada 9 Desember 2018, Kepala Pusat Keamanan, Keselamatan, Kesehatan Kerja, dan Lingkungan (P4KL) UGM Arif Nurcahyo melaporkan kasus tersebut kepada Polda DIY. Ia mengaku, pelaporan kasus itu didasari oleh rasa tanggung jawabnya sebagai Kepala PK4L UGM. (Kompas, 1/1/2019)
Pada 18 Desember 2018, korban dipanggil Polda DIY untuk diperiksa. Korban didampingi tim kuasa hukum yang dibentuk oleh Rifka Anisa, lembaga swadaya masyarakat yang mendampingi korban untuk memulihkan kondisi psikologisnya. Pada November 2018, korban juga pernah diperiksa Polda Maluku selama 12 jam, di Yogyakarta. Saat itu, ia didampingi oleh Rifka Anisa, karena waktu itu tim kuasa hukum belum dibentuk.
Direktur Rifka Anisa Suharti menyayangkan langkah UGM melaporkan kasus tersebut ke aparat kepolisian. Sebab, sebelumnya, Rifka Anisa, korban, dan UGM sudah bersepakat tidak melaporkan kasus tersebut. Saat kasus ini berkembang ke jalur hukum, pihak korban justru tidak diinformasikan.
“Ketika pilihan korban tidak melaporkan kepada polisi, kami sangat menghormatinya. Tetapi, kami harus memastikan keadilan bagi korban jika sudah dibawa ke ranah hukum. Itu yang benar-benar kami upayakan,” kata Suharti.
Dia menyampaikan, ke depan, korban menginginkan transparansi informasi tentang perkembangan kasus tersebut. Selama ini, korban merasa diperlakukan tidak adil karena kurang mendapatkan informasi tentang perkembangan kasusnya.
“Ketika pilihan korban tidak melaporkan kepada polisi, kami sangat menghormatinya. Tetapi, kami juga harus memastikan keadilan bagi korban harus terpenuhi jika sudah dibawa ke ranah hukum. Itu yang benar-benar kami upayakan,” kata Suharti.
Pelanggaran etik
Sebelumnya, Rektor UGM Panut Mulyono menyampaikan, pihak universitas fokus mengurus pelanggaran etik yang dilakukan terduga pelaku. Adapun proses hukum diserahkan kepada aparat kepolisian.
Pada 31 Desember 2018, Komite Etik UGM, yang dibentuk Rektor untuk merumuskan sanksi etik bagi terduga pelaku sudah menyerahkan hasil rekomendasi. Panut menjamin keputusan yang diambilnya bakal berpihak kepada korban atau penyintas. (Kompas, 8/1/2019)
Terkait hal itu, Suharti mengungkapkan, hingga saat ini, pihaknya belum menerima isi rekomendasi Komite Etik UGM. Ia berharap, pihak UGM juga terbuka kepada korban berkaitan dengan penyelesaian kasus tersebut secara etik.
Secara terpisah, Kepala Bidang Humas Polda DIY Ajun Komisaris Besar Yuliyanto mengatakan, belum ada perkembangan mengenai proses hukum dari kasus dugaan pelecehan seksual tersebut. Sebanyak 19 saksi sudah diperiksa aparat kepolisian.