Pengelolaan Kawasan Rawan Kunci Mitigasi Bencana Tanah Bergerak
Oleh
WINARTO HERUSANSONO
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS – Pemerintah kabupaten dan kota di Jawa Tengah diminta lebih serius mengantisipasi ancaman tanah bergerak. Terlebih, peta pergerakan tanah sudah dibuat sepuluh tahun lalu, tetapi sejauh ini, mitigasi lebih terfokus pada banjir dan erupsi gunung api.
Pakar hidrologi Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang, Robert J Kodoatie, Jumat (11/1/2019), mengatakan, mitigasi bencana tanah bergerak terkait kepedulian memproteksi kondisi suatu kawasan. "Hampir semua daerah longsor di Jawa Tengah terjadi di daerah non cekungan air tanah (CAT),” ujarnya.
Robert mengatakan, manajemen pengelolaan bencana menjadi sebuah keniscayaan. Dengan paradigma baru yakni pengelolaan kawasan bencana, seluruh pemangku kepentingan bakal lebih siap mengelola kawasan rawan bencana.
Dia mencontohkan, kawasan daerah resapan untuk melindungi dataran yang lebih rendah dari banjir, semestinya dilindungi. Aturan daerah resapan yang saat ini 30 persen, mestinya diperluas menjadi 40 persen.
Begitu halnya kawasan cekungan di pesisir utara mulai dari Pekalongan, Kendal, Semarang, hingga Demak perlu ada pengendalian pengambilan air tanah. Hal ini supaya lubang besar kosong di dalam tanah tidak jadi jalan masuk air laut yang menimbulkan banjir rob.
Dia mengingatkan, lahan terbuka di kawasan hutan yang kebanyakan berada di daerah dataran tinggi kemungkinan semakin meluas. Robert mencontohkan, pada 1999, penebangan pohon besar di Jateng mencapai 2,48 juta pohon. Hal itu menimbulkan konsekuensi lahan terbuka dari sekitar 179 hektar melonjak menjadi 2.809,5 hektar.
"Pendataan lahan terbuka mesti diverifikasi lagi. Terlebih dengan maraknya pembangunan infrastruktur di Jawa Tengah akhir-akhir ini," ungkap Robert.
Peringatan dini
Terkait kesiapan peringatan dini bencana di Jateng, Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jateng, Sarwa Pramana menjelaskan, BPBD bersama pemda setempat telah memasang sekitar 60 alat peringatan dini (early warning system/EWS), terutama di daerah Jateng bagian selatan.
Pemasangan alat itu untuk mengantisipasi bila ada indikasi bencana tanah longsor maupun tanah bergerak. Melalui pemasangan EWS, setidaknya bisa mengurangi korban manusia ketika terjadi bencana. Masyarakat dapat bersiaga dan mengungsi ketika peringatan dini berbunyi.
Sarwa menyadari, 60 unit sistem peringatan dini bencana itu masih belum memadai. Terlebih karena daerah terancam bencana di Jateng sangat luas. Keberadaan alat peringatan dini itu baru 48 persen dari kondisi ideal sebanyak 144 unit EWS. Secara bertahap, hal ini sedang diupayakan melalui bantuan pembiayaan pemda setempat.
Ketua Tim Pansus Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah, Abdul Aziz menegaskan, Perda RTRW 2009-2029 sebenarnya telah menggunakan peta rawan bencana sebagai acuan proteksi kawasan rawan bencana maupun rawan tanah bergerak. Kawasan itu mesti steril dari usaha pertambangan atau penggalian skala besar dan industri.
“Jika saat ini di daerah itu ada kegiatan perizinan pertambangann dan penggalian skala besar, maka harus dihentikan. Izinnya dicabut dan lingkungan dikembalikan sebagai kawasan lindung,” ujar Aziz.
Pada Pasal 18 Perda RTRW secara jelas menyebutkan, kegiatan penambangan atau tambang mineral di daerah panas bumi harus dilakukan hati-hati dan terkendali. Seperti panas bumi Dataran Tinggi Dieng, Gedongsongo Kabupaten Semarang, juga sumber panas bumi Gunung Lawu di Kabupaten Karanganyar.