JAYAPURA, KOMPAS — Hanya 20 persen dari sekitar 4.000 peti kemas yang keluar dari Pelabuhan Jayapura, Papua, dalam kondisi terisi setiap bulan. Sementara 3.920 peti kemas dalam kondisi kosong.
Hal ini disampaikan General Manager PT Pelindo IV Cabang Jayapura Hardin Hasjim saat ditemui Kompas di Jayapura, Senin (14/1/2019).
Hardin mengatakan, 20 persen peti kemas yang terisi lebih dominan berupa barang-barang bekas seperti besi tua. Sementara komoditas lokal yang sering diekspor keluar dari Jayapura adalah kayu olahan jenis merbau.
”Selain kayu, tidak ada komoditas lokal yang dikirim keluar dari Jayapura. Hal ini menyebabkan biaya pengiriman satu peti kemas dari Jayapura juga cukup tinggi, yakni sekitar Rp 18 juta. Hal ini disebabkan jarak yang jauh dan juga banyak peti kemas yang kosong,” papar Hardin.
Ia menuturkan, idealnya, pengiriman peti kemas dalam kondisi terisi di tengah tren arus masuk dan keluar peti kemas di Pelabuhan Jayapura terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Diketahui dari data terakhir Pelindo IV Jayapura, arus masuk dan keluar peti kemas di Pelabuhan Jayapura pada tahun 2017 mencapai 90.004 TEUs. Sementara pada 2018, arus masuk dan keluar peti kemas mencapai 100.755 TEUs.
”Setiap bulan, 8.000 peti kemas masuk dan keluar dari pelabuhan. Sebanyak 4.000 peti kemas yang masuk Jayapura dalam kondisi terisi, sedangkan 4.000 peti kemas yang keluar lebih dominan dalam kondisi kosong,” ujar Hardin.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Papua Laduani Ladamay menilai, minimnya peti kemas keluar Jayapura dalam kondisi terisi karena belum optimalnya pengelolaan komoditas lokal nonkayu di Papua.
Lebih dominannya peti kemas yang terisi masuk ke Jayapura, lanjut Laduani, menyebabkan arus keluar dan masuk uang ke wilayah Papua tidak seimbang. Fenomena ini disebut capital flight atau arus uang yang keluar lebih besar di suatu daerah.
”Papua memiliki potensi luas lahan yang sangat luas dan komoditas unggulan seperti kakao, sagu, dan kopi. Luas lahan sagu saja terbesar di seluruh Indonesia, mencapai 4,7 juta hektar. Namun, Papua belum bisa memproduksi hasil olahan sagu hingga kini,” tutur Laduani.
Ia menyebutkan, apabila lebih dominan pengiriman komoditas kayu keluar Papua, hal itu tentunya akan mengganggu kelestarian lingkungan. Kondisi ini menyebabkan hilangnya daerah resapan air dan menyebabkan rawan terjadi bencana alam, seperti banjir dan longsor, di daerah-daerah yang memproduksi kayu olahan.
”Tahun ini kami sudah memberikan rekomendasi bagi seluruh instansi terkait agar memperbaiki pola pengelolaan dan pemanfaatan komoditas lokal dari sektor hulu hingga hilir. Tujuannya, meningkatkan nilai tambah komoditas lokal Papua. Contohnya, sagu saja bisa diolah menjadi 25 produk,” ucapnya.