Timbulan Sampah Warga Surabaya 57 Persen Lebih Rendah dari Rata-rata Nasional
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Sampah masih menjadi permasalahan yang dihadapi kota-kota besar di Indonesia. Jika tidak tertangani dengan baik, sampah yang menumpuk bisa mengganggu kenyamanan warganya. Gaya hidup bebas sampah perlu digalakkan agar sampah tidak lagi menghantui masyarakat kota.
Seperti di Surabaya, pengelolaan sampah menjadi salah satu hal yang serius ditangani Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Risma dinilai berhasil mengurangi dan mengelola sampah oleh sejumlah pihak. Terbaru, Senin (14/1/2019), Surabaya akan menerima tiga penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yaitu Adipura Kencana, Kinerja Pengurangan Sampah, dan Nirwasita Tantra.
Adipura tahun ini menjadi penghargaan ke-9 dalam 10 tahun terakhir. Sebelumnya pada akhir tahun lalu, partisipasi warga dalam pengelolaan sampah membuat kota berpenduduk 3,3 juta jiwa ini memenangi penghargaan Guangzhou Award kategori kota terpopuler dengan dukungan sebesar 1,5 juta suara.
Penelitian Warma pada 2016 menunjukkan bahwa timbulan sampah yang dihasilkan warga Surabaya rata-rata 0,4 kilogram per jiwa tiap hari
Dosen Jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Warmadewanthi, mengatakan, salah satu faktor yang membuat Surabaya mampu menyelesaikan masalah sampah adalah gaya hidup bebas sampah yang dilakukan warganya. Selain itu, Pemkot Surabaya juga berhasil mengurangi timbulan sampah sejak hulu dengan partisipasi masyarakat yang tinggi.
”Warga Surabaya mulai berperilaku dan melakukan gaya hidup bebas sampah sehingga jumlah produksi sampah terus berkurang,” katanya.
Penelitian Warma pada 2016 menunjukkan bahwa timbulan sampah yang dihasilkan warga Surabaya rata-rata 0,4 kilogram per jiwa tiap hari. Jumlah ini lebih rendah 57 persen dibandingkan rata-rata nasional yang juga digunakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yakni sebanyak 0,7 kilogram per jiwa tiap hari.
Menurut dia, sebagian warga Surabaya biasa makan di luar rumah sehingga sampah rumah tangga dari dapur berkurang. Ada pula yang memesan makanan melalui ojek daring. ”Pengurangan sampah didukung dengan kesadaran masyarakat dalam mengelola dan mendaur ulang sampahnya,” ucap Warmadewanthi.
Sekretaris Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau (DKRTH) Kota Surabaya Ipong Wisnoewardono mengatakan, tidak revelan lagi jika produksi sampah warga Surabaya disamakan dengan daerah lain. Sebab, jumlahnya terus berkurang hingga 42 persen dibandingkan rata-rata nasional.
Setiap hari, sampah yang dihasilkan penduduk Surabaya diperkirakan 1.336 ton. Sebagai kota metropolitan dengan penglaju dari luar kota, diperkirakan timbulan sampah 2.000 ton per hari. Sampah di Surabaya didominasi sampah organik 54 persen, disusul sampah plastik sebesar 19 persen dan sampah kertas 14 persen.
Dari jumlah timbulan sampah tersebut, sekitar 25 persen di antaranya mampu diolah masyarakat melalui program Reuse, Reduce, dan Recycle. Mereka memanfaatkan sampah di antaranya untuk pembayaran Bus Suroboyo, dijual ke bank sampah, pembuatan pupuk kompos, menjadi sumber listrik, serta menjadi barang kerajinan. Alhasil, sampah yang ditimbun ke TPA Benowo sekitar 1.477 ton per hari.
”Warga Surabaya relatif lebih peduli sampah dibandingkan penglaju karena mereka ingin tempat tinggalnya bebas sampah sehingga nyaman untuk ditinggali. Kami terus berupaya menularkan gaya hidup bebas sampah warga Surabaya kepada para pendatang agar sampah yang dihasilkan terus berkurang,” ujar Ipong.
Pipit Maulidiya (26), warga Rungkut, mengatakan, dia dan keluarganya berusaha mengurangi sampah plastik dengan menerapkan pola hidup zero waste. Setiap hari, Pipit selalu membawa tempat minum ke kantornya. Jika air minumnya habis, dia bisa mengisi ulang tanpa perlu membeli air minum dalam kemasan.
”Kalau ke restoran capat saji, saya meminta air minumnya dimasukkan di tempat minum yang saya bawa, bukan di gelas plastik seperti konsumen lainnya,” kata Pipit yang kini tidak lagi minum menggunakan sedotan plastik.
Ibunya di rumah juga selalu menggunakan tas plastik berulang kali hingga rusak. Setiap mendapatkan tas plastik ketika berbelanja, tas plastik itu dicuci dan dikeringkan. Tas plastik kemudian dilipat agar bisa digunakan kembali.
”Ibu selalu berpesan bahwa jika terpaksa membeli air minum dalam kemasan, botolnya harus dibawa pulang. Botol itu lalu disimpan dan dikumpulkan untuk dijual karena memiliki nilai,” ujar Pipit.