Peta zona rawan bencana perlu berskala besar dan rinci untuk menjadi dasar rencana induk rehabilitasi dan rekonstruksi. Sebagai contoh, energi dari sesar minor Palu-Koro cukup besar, tetapi belum terakomodasi.
PALU, KOMPAS— Badan Perencanaan Pembangunan Nasional diminta menerbitkan peta besar dan detail untuk melengkapi peta zona rawan bencana yang diterbitkan untuk Sulawesi Tengah. Peta lebih besar dan detail bisa menyingkap lebih rinci potensi bencana akibat gempa bumi.
Hal itu dikatakan peneliti Ikatan Ahli Geologi Indonesia yang terlibat dalam Ekspedisi Palu-Koro, Reza Permadi, di sela-sela diskusi tata ruang untuk mitigasi bencana, Senin (14/1/2019), di Palu. Diskusi difasilitasi Perkumpulan Huma. ”Peta zona rawan bencana hanya mengidentifikasi sesar utama PaluKoro. Padahal, ada sesar minor berupa cabangcabang sesar utama,”ujarnya.
Pemprov Sulteng menetapkan peta zona rawan bencana yang disusun para pihak di bawah koordinasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Peta itu mengategorikan empat zona, yakni merah, kuning tua, kuning, dan hijau. Selain lokasi merah yang dikategorikan zona terlarang, aktivitas ekonomi dan permukiman bisa berjalan.
Peta tersebut merupakan respons terhadap gempa bumi disertai tsunami dan likuefaksi pada 28 September 2018 yang menghantam Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala. Zona merah adalah wilayah yang dilanda tsunami dan likuefaksi di kanan dan kiri jalur sesar utama Palu-Koro.
Gempa bumi dipicu aktivitas sesar aktif Palu-Koro yang membentang dari Laut Sulawesi membelah Kota Palu dan berakhir di Teluk Bone, Sulawesi Selatan.
Menurut Reza, peta yang diterbitkan masih sangat umum, berskala 1:100.00. Diperlukan peta berskala 1:5.000 untuk memetakan sesar-sesar minor dari sistem Palu-Koro.
Ia mencontohkan, di Kabupaten Donggala bagian utara cukup banyak sesar minor. Pusat gempa bumi pada 28 September terjadi di sesar minor sistem Palu-Koro.
Tanpa ada peta detail, sesar-sesar minor tak dihitung dalam tata ruang. Padahal, sesar-sesar minor itu punya daya rusak besar karena energinya mendekati energi sesar utama Palu-Koro. Namun, hal itu tak diakomodasi dalam rencana induk rehabilitasi dan rekonstruksi.
Hanya sesar utama sistem Palu-Koro yang menjadi patokan mengatur jarak pembangunan rumah atau bangunan sejauh 35 meter di kiri dan kanan jalur sesar.
Direktur Perkumpulan Skala, LSM yang bergerak di bidang pembangunan berkelanjutan, yang juga Ketua Ekspedisi Palu-Koro Trinirmalaningrum menyatakan, tata ruang merupakan dilema bagi pemerintah daerah, terutama dalam konteks ekonomi. Namun, mitigasi berbasis tata ruang harus ditaati untuk mencegah jatuhnya korban akibat gempa bumi.
Kepala Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Provinsi Sulteng Syaifullah Djafar mengatakan, peta zona rawan bencana telah mengakomodasi mitigasi bencana. Langkah ke depan adalah revisi tata ruang Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala berdasarkan peta itu.
Transparan
Dalam diskusi publik ”Masa Depan Mitigasi Bencana Tsunami di Indonesia”, Senin, di Bandung, ahli tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Widjo Kongko, menyatakan, perlu ada transparansi mitigasi bencana proyek pembangunan Bandara Internasional Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
”Jika ada kajian detail tentang mitigasi bencana, tolong dibuka. Sebab, keberadaan bandara memungkinkan kawasan itu menjadi magnet bagi investor,” kata Widjo.
Widjo menyatakan, bandara tersebut rawan terdampak gempa dan tsunami karena berlokasi di pesisir selatan Jawa. Jarak bandara dengan bibir pantai sekitar 400 meter.
Pelaksana proyek PT Angkasa Pura I dan PT Pembangunan Perumahan Tbk telah berkunjung ke Jepang mempelajari mitigasi serta adaptasi gempa dan tsunami.
Bangunan didesain tahan gempa hingga M 8,8 dan dilengkapi bangunan dengan kolom yang dikorbankan untuk mengurangi kekuatan tsunami. Disiapkan pula gedung pusat krisis yang berfungsi sebagai tempat evakuasi sementara jika terjadi tsunami (Kompas, 28/9/2018).
Rahman Hidayat, Asisten Deputi Bidang Infrastruktur Pelayaran, Perikanan, dan Kepariwisataan Kementerian Koordinator Maritim menyatakan, bandara sudah didesain tahan gempa dan tsunami. Namun, implementasi di lapangan perlu dicek karena pembangunan masih berlangsung. (NCA)