Rekonstruksi Huntap Berjalan Lambat
Proses rehabilitasi dan rekonstruksi ribuan rumah warga yang terdampak gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat, masih berjalan lambat karena keterbatasan tukang bangunan di sana.
Tangan Sani (35) gesit merangkai baja ringan kanal C dalam pembangunan Puskesmas Pembantu Desa Selat, Kecamatan Narmada, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Tukang bangunan yang cukup berpengalaman itu menyatukan bagian demi bagian baja ringan kanal C menggunakan sekrup yang diputar dengan mesin bor.
”Jadi, tukang harus punya alat (mesin bor) ini, supaya irit tenaga, Pak,” ujar Sani, Minggu (13/1/2019). Puskesmas tersebut dibangun untuk menggantikan bangunan lama yang ambruk akibat gempa Lombok, 5 Agustus 2018.
Bangunan baru ini menggunakan atap spandek, dinding kalsiboard, dan rangka baja ringan kanal C sehingga alat kerjanya juga menyesuaikan dengan material bangunan. Bangunan itu dirancang tahan gempa.
Sani bersama 10 warga Desa Lembuak, Kecamatan Narmada, baru delapan hari mengerjakan bangunan. Pembangunan puskesmas pembantu ditargetkan rampung pekan berikutnya.
”Ini bangunan kedua yang kami kerjakan setelah gempa beberapa waktu lalu,” ujar Sani. Sebelumnya, ia menyelesaikan satu rumah rusak ringan akibat gempa di Kelurahan Monjok Baru, Kota Mataram.
Selesai puskesmas pembantu dibangun, Sani ditunggu beberapa warga Desa Pemenang, Lombok Utara, untuk merehabilitasi rumah. Warga yang hendak memakai jasanya harus menunggu Sani menyelesaikan pekerjaannya di satu tempat terlebih dahulu. Jumlah tukang yang membantu membangun kembali rumah-rumah warga memang terbatas.
Pantas jika Harmini, Kepala Desa Sembalun di Lombok Timur, menyatakan kesulitan mencari tukang untuk memperbaiki rumahnya yang rusak ringan akibat gempa. Tukangtukang lokal di Desa Sembalun masih sibuk memperbaiki rumahnya sendiri.
Harmini harus mendatangkan tujuh tukang bangunan dari daerah lain di Lingkungan Bertais, Kota Mataram, dan Desa Tanak Awu, Lombok Tengah. Untuk itu, Harmini membayar upah tukang bangunan Rp 125.000 per hari dan peladen tukang Rp 100.000 per hari.
Jumlah itu lebih mahal dibandingkan dengan upah tukang lokal desa Rp 100.000 per hari dan upah peladen tukang Rp 80.000 per hari.
Di Desa Selat, Kecamatan Narmada, warga memilih membangun rumah darurat secara swadaya di atas fondasi rumahnya yang ambruk akibat gempa. Desa ini berpenduduk 6.233 jiwa atau 2.800 keluarga. Sebanyak 1.700 rumah dilaporkan rusak dengan 679 rumah di antaranya rusak berat.
Pemerintah memberikan stimulan Rp 50 juta untuk merehabilitasi setiap rumah milik warga. Untuk mendapatkan uang itu, warga diminta membuat rekening di Bank BRI dan membentuk kelompok masyarakat (pokmas) yang diperkuat fasilitator atau tenaga pendamping.
Uang stimulan ditransfer ke rekening pokmas. Selanjutnya dari pokmas dikirimkan ke rekening penyedia bahan bangunan yang membelikan material bangunan.
Untuk model bangunan diserahkan kepada warga. Mereka boleh membangun rumah instan sederhana sehat (risha), rumah instan kayu (rika), dan rumah instan konvensional (riko).
Kepala Desa Selat, Abdul Kadir, menyatakan, pokmas sudah terbentuk di desanya dan sudah menerima dana stimulan dalam dua tahap. Pokmas diminta segera mencairkan dana stimulan tahap pertama sebesar Rp 25 juta agar warga dapat segera membangun rumah.
Akan tetapi, Saharudin (55), warga Dusun Selat Barat, Desa Selat, mengaku, pencairan dana stimulan itu belum jelas. Ia memilih membangun kembali rumah darurat secara swadaya.
”Lebih baik bikin darurat. Menunggu dana stimulan hanya ceritanya saja,” ujar Saharudin yang sehari-hari bekerja sebagai montir.
Saharudin dan keluarganya mengungsi selama dua bulan di sebuah lapangan sebelum memutuskan membangun rumah beratap terpal plastik.
Persoalan kekurangan tukang juga melingkupi Desa Selat. Di desa itu ada 40 tukang bangunan lokal. Jumlah itu tidak mencukupi untuk menuntaskan rehabilitasi 679 rumah yang rusak berat dalam waktu singkat.
Tidak sejalan
Persoalan-persoalan yang muncul di lapangan itu ternyata tidak sejalan dengan solusi percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi yang diambil Pemerintah Provinsi NTB. Kebijakan diambil Pemprov adalah memprioritaskan menambah jumlah fasilitator.
Dalam rapat koordinasi yang dipimpin Wakil Gubernur NTB Sitti Rohmi Djalilah dibahas penambahan 751 fasilitator guna memperkuat 351 fasilitator yang ada saat ini.
Diputuskan pula untuk mempercepat pembangunan hunian tetap (huntap). Seperti disebutkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB, jumlah rumah yang rusak berat di NTB mencapai 75.138 unit (Kompas, 12/1).
Seusai rapat itu, Ketua BPPD NTB M Rum mengatakan, penambahan fasilitator otomatis diikuti penambahan jumlah tukang bangunan.
Tugas fasilitator antara lain mendampingi warga membuat rencana anggaran biaya huntap, membuat desain teknis, serta mencarikan aplikator dan kontraktor bangunan bagi Pokmas.
Kepala Dinas Perumahan dan Pemukiman NTB IGB Sugiharta justru pesimistis rehabilitasi dan rekonstruksi rumah selesai sesuai target, yakni rampung Maret 2019. Pasalnya, dalam lima bulan terakhir baru 120 huntap terbangun.
Minimnya realisasi huntap yang terbangun tidak lepas dari persoalan terbatasnya jumlah tukang bangunan mengingat Kota Mataram, Lombok Utara, Lombok Barat, Kota Mataram dan Lombok Timur yang terdampak gempa juga memerlukan tukang.
Ketika realitas di lapangan membutuhkan penambahan tukang bangunan, lalu Pemprov NTB menjawab dengan menambah jumlah fasilitator, jelas kebijakan itu tidak sejalan.
Oleh karena itu, wajar jika proses rehabilitasi dan rekonstruksi rumah warga yang terdampak gempa Lombok berjalan lambat.