Tersangka Kasus Pelacuran Dalam Jaringan Internet Bertambah
SURABAYA, KOMPAS – Kepolisian Daerah Jawa Timur masih mengembangkan penyidikan kasus pelacuran dalam jaringan internet atau online yang melibatkan kalangan selebritas. Tim penyidik telah menetapkan seorang pesohor dan empat muncikari sebagai tersangka.
Untuk diketahui, kasus ini terbongkar dari penangkapan terhadap dua selebritas berinisial VA dan AS di Surabaya, Jatim, Sabtu (5/1/2019). Selain keduanya, tim penyidik membawa seorang lelaki berinisial RH yang merupakan pemakai jasa prostitusi VA dan seorang perempuan yakni Endang Suhartini alias Siska yang diduga berperan sebagai muncikari.
Dari pemeriksaan, penyidikan berkembang. Tim penyidik menangkap seorang perempuan di Jakarta yang diduga berperan sebagai muncikari yakni Tantri Novanta alias Tantri. Masih ada empat perempuan dengan peran serupa sebagai induk semang perempuan dilacurkan.
Kemudian, pada awalnya, status selebritas VA dan AS adalah saksi dan korban. Namun, tim penyidik meningatkan status hukum VA menjadi tersangka dengan tuduhan terlibat aktif dalam prostitusi dengan sangkaan penyebaran konten asusila (foto dan video telanjang).
Kepala Polda Jatim Inspektur Jenderal Luki Hermawan, Jumat (18/1/2019), mengungkapkan, jumlah tersangka bertambah setelah penangkapan muncikari Fitria lalu Intan Winindya alias Windy. “Keempat muncikari kami tetapkan sebagai tersangka dan sebelumnya VA juga ditetapkan sebagai tersangka,” katanya.
Setiap muncikari atau germo itu, lanjut Luki, memiliki daftar nama selebritas untuk dilacurkan. Terkait dengan itu, Polda Jatim pernah merilis bahwa jaringan prostitusi daring dengan keterlibatan empat muncikari setidaknya mencakup hampir 150 aktris, model, dan pembawa acara. “Muncikari sebagai penghubung mengambil keuntungan atau persentase dari transaksi prostitusi aktris dan konsumennya,” ujarnya.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jatim Komisaris Besar Akhmad Yusep Gunawan menambahkan, janji kencan hingga transaksi dibahas dalam percakapan melalui media sosial WhatsApp dalam grup khusus. “Kami masih melaksanakan sinkronisasi data digital forensik untuk mengungkap berbagai peran dalam prostitusi online,” katanya.
Untuk kelima tersangka, tim penyidik menjeratnya dengan tuduhan pelanggaran Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 sebagai perubahan atas UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tim penyidik belum melihat potensi pelanggaran regulasi lain oleh para tersangka yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan atau UU 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Sensasional
Ketua Aliansi Jurnalis Indipenden (AJI) Surabaya Mifta Farid yang dihubungi secara terpisah menegaskan, pemberitaan tentang prostitusi daring yang sedang diungkap oleh Polda Jatim lebih terkesan sensasional. Selain itu, pemberitaan tidak bersudut pandang gender dimana perempuan dilacurkan yang dituduh terlibat kemudian mengalami sanksi bertubi-tubi dan dikriminalisasi.
Proses mengorbankan sudah tampak sejak hari pertama kasus terungkap. Identitas bahkan sosok VA dan AS terpampang jelas di hadapan publik melalui siaran televisi dan foto pada media massa. Akibatnya, seperti dirasakan oleh VA, dirinya mendapat sanksi sosial beruntun misalnya ditinggalkan atau tidak mendapat dukungan dari keluarga, sobat, dan rekan, dihujat habis-habisan, trauma, dan hidup dalam kecemasan dan ketakutan. Ini ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga.
Selanjutnya, Polda Jatim juga mengumumkan akan memanggil enam selebritas berinisial AC, BS, FG, ML, RF, dan TF untuk pengembangan penyidikan. Media massa secara terang-terangan mengumumkan identitas mereka. Akibatnya, keenam pesohor itu berpotensi terkena sanksi bertubi-tubi dan atau dikriminalisasi.
Penyidikan kasus prostitusi daring membuat publik seolah teralihkan dari kasus-kasus yang dirasa penting untuk mendapat perhatian. Antara lain, penyidikan kasus amblesnya Jalan Raya Gubeng yang belum diumumkan kelanjutannya dan penindakan terhadap dugaan pelanggaran dalam masa waktu menjelang Pemilihan Umum 2019.
Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan dalam siaran pers tertulis mendesak agar tim penyidik berhenti mengungkap secara publik penyelidikan kasus itu. Media massa jangan mengeksploitasi perempuan yang dilacurkan. Hentikan pemberitaan bernuansa menyalahkan kaum perempuan. Publik jangan menghakimi secara membabi buta kepada kaum perempuan yang dilacurkan dan sebagai korban eksploitasi industri hiburan.
“Agar semua pihak lebih kritis untuk mengungkap akar persoalan,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin. Kasus seperti ini sepatutnya dilihat sebagai jeratan kejahatan seksual dimana perempuan ditipu dan diperjualbelikan. Tidak sepatutnya kasus ini dilihat dari perspektif sederhana merupakan kehendak bebas perempuan untuk melacurkan diri sehingga mereka rentan diperkarakan secara pidana atau dikriminalisasi.
Penyakit sosial
Dosen pada Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Dyan Arimami yang dihubungi secara terpisah sependapat bahwa pemberitaan tentang prostitusi online lebih mengedepankan sensasional daripada aspek pencerahan apalagi pendidikan kepada publik.
Dari pemberitaan gencar tentang kasus itu, media massa telah mengeksploitasi seksualitas dan mengorbankan perempuan. Gempuran informasi seperti itu bisa membuat publik terganggu. “Media sendiri yang menjadi muasal penyakit sosial,” ujarnya.
Dyan yang akrab disapa Monik mengkritisi peran media massa saat ini dalam perkembangan teknologi informasi. Pemberitaan memang disampaikan dengan lebih cepat, mungkin dengan tambahan inovasi sehingga terlihat menarik.
Namun, kualitas isi dilupakan sehingga seakan tidak mendapat pengetahuan apa-apa dari pemberitaan. “Dari pemberitaan itu saya kurang melihat kenapa publik harus tahu dan apa relevansinya buat kehidupan publik,” katanya.
Penulis buku “Jurnalisme Online” sekaligus dosen tamu pada Departemen Ilmu Komunikasi UGM Engelbertus Wendratama menambahkan, pemberitaan kasus prostitusi online selain sensasional juga kurang berkualitas. Mungkin ada gaya penulisan judul yang sensasional atau bombastis tetapi isinya kurang mendorong peningkatan pengetahuan publik dalam kasus hukum. “Sebaiknya membuat konten berita itu bukan sekadar menarik melainkan berkualitas,” ujarnya.
Situs berita, lanjut Wendra, justru punya ruang begitu luas untuk menampilkan informasi yang baik dan mencerahkan publik. Jika menganggap publik perlu tahu tentang prostitusi online, perlu pemaparan tentang bagaimana prostitusi khususnya dalam jagad maya itu terjadi sampai potensi pelanggaran hukumnya. Pemberitaan jangan malah membuat publik tergoda menjadi “hakim sosial” sekaligus berhasrat mencari lalu menyebarkan konten-konten asusila.
Dosen pada Departemen Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya, Airlangga Pribadi Kusnan menyoroti bahwa pemberitaan tentang prostitusi online itu membuat perempuan yang terlibat dinyatakan sebagai pihak paling bersalah.
Di sisi lain, publik masih dipengaruhi secara kental oleh pandangan hegemoni patriarki atau mendahulukan lelaki. Respon publik terhadap pemberitaan di dunia maya akhirnya menjadikan perempuan dan tubuh perempuan sebagai bahan olok-olok.
Pandangan hegemoni patriarki itu kemudian memengaruhi persepsi publik terutama bahwa keterlibatan lelaki dalam dunia prostitusi patut dimaklumi. Namun, perempuan dituntut untuk hidup lebih mulia dan suci. “Inilah konstruksi peradaban patriarki dimana tidak akan pernah ada keberpihakan terhadap perempuan,” kata Airlangga.