KEBUMEN, KOMPAS—Taman Bumi Karangsambung-Karangbolong di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, perlu dikembangkan bukan hanya untuk pariwisata. Pengembangan lebih komprehensif, antara lain meliputi konservasi, edukasi ilmu kebumian, dan mitigasi bencana, perlu lebih dikedepankan agar memberikan manfaat bagi kelestarian alam dan kesejahteraan warga.
Kawasan Taman Bumi Karangsambung-Karangbolong memiliki luas 543.599 kilometer persegi. Taman ini mencakup 117 desa dan 12 kecamatan di Kabupaten Kebumen. Taman bumi ini memiliki kekayaan batu-batuan tua dalam enam periode sejarah geologi sejak 117 juta tahun lalu hingga sekarang.
”Di Karangsambung ada aneka ragam batuan-batuan tua. Batuan yang semestinya ada di dasar samudra kemudian terangkat. Di Karangbolong ada kawasan karst, itu sesuatu yang unik. Karena itu, kita satukan dua kawasan lindung ini menjadi geopark nasional. Tujuannya, pertama, kita ingin melindungi dan mengonservasi kawasan geosite itu.
Kemudian yang kedua, kami menginginkan di tempat itu nanti akan berkembang ekonomi lokal. Itu tidak akan terwujud tanpa edukasi,” tutur Peneliti Utama Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Chusni Ansori, Senin (21/1/2019), di sela-sela sarasehan Pengembangan Geopark Karangsambung-Karangbolong di Kebumen.
Menurut Chusni, wilayah taman bumi ini memiliki kerawanan bencana meliputi tsunami di bagian pantai selatan, banjir, gempa bumi, dan tanah longsor. Oleh karena itu, di kawasan ini perlu juga dikembangkan pendidikan mitigasi bencana bagi warga.
”Potensi longsor terjadi karena kemiringan tebing yang cukup terjal dan kondisi batu-batuan ini berada di atas tanah lempung sehingga cukup licin saat hujan,” ujarnya.
Kepala Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung LIPI Edi Hidayat mengatakan, pada 1964, di Karangsambung dibangun Kampus Lapangan Geologi di bawah LIPI.
Sejak empat tahun terakhir, jumlah kunjungan ke tempat itu terus meningkat, baik dari mahasiswa, peneliti, pelajar, maupun masyarakat umum. Jumlah kunjungan berkisar 13.000-14.000 orang per tahun.
”Karangsambung adalah tempat bertemunya lempeng Samudra Hindia-Australia dan Lempeng Benua Eurasia. Akibatnya, batuan di Karangsambung beraneka ragam dan bercampur aduk disebut melange,” kata Edi.
Dalam sarasehan terungkap sejumlah ancaman terhadap taman bumi tersebut, di antaranya penambangan pasir dan bebatuan secara ilegal di Sungai Luk Ulo. Penambangan dilakukan menggunakan mesin atau alat berat.
Menanggapi hal itu, Kepala Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah Kabupaten Kebumen Junaidi Faturochman mengatakan, pihaknya akan membahasnya bersama badan pengelola Taman Bumi Karangsambung-Karangbolong.
Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata Kapaten Kebumen Azam Fatoni menyampaikan, saat ini badan pengelola taman bumi masih dalam proses pembentukan. Badan ini antara lain melibatkan unsur pemerintah daerah, LIPI, dan unsur masyarakat.
”Badan pengelola nanti akan di-SK-kan (surat keputusan). Setelah itu kami akan bekerja sama dengan badan pengelola,” tuturnya.
Camat Sadang, Wawan Sujaka, yang wilayahnya masuk dalam areal kawasan Taman Bumi Karangsambung-Karangbolong, menyampaikan, potensi desanya cukup banyak, tetapi belum banyak dikembangkan dan dimanfaatkan.
”Sungai di sini bisa dimanfaatkan sebagai wisata tubing. Areal track untuk motor trail juga banyak dan menantang,” kata Wawan. (DKA)