PALANGKARAYA, KOMPAS —Komitmen pemegang izin konsesi untuk menyediakan kawasan konservasi dinilai masih minim. Penyediaan kawasan konservasi masih sebatas pemenuhan regulasi dan bahkan berubah menjadi perangkap ekologis bagi satwa liar dilindungi, khususnya orangutan.
Koordinator Peneliti Ecology and Conservation Center for Tropical Studies (Ecositrop) Yaya Rayadin menyampaikan hal itu di sela-sela acara Diseminasi Kehidupan Orangutan di Multifungsi Landscape, Selasa (22/1/2019), di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Acara yang digelar Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalteng itu untuk memperingati Hari Primata Nasional, 30 Januari mendatang.
Menurut Yaya, selama ini yang dilakukan pemegang izin konsesi adalah menciptakan perangkap ekologis, bukan kawasan dengan nilai konservasi tinggi (HCV). Hal itu terlihat dari desain kawasan konservasi di dalam areal inti konsesi yang terlalu sempit dan dibuat terpencar.
”Areal konservasi dengan skala kecil hanya akan menjadi perangkap ekologis bagi orangutan dan berpengaruh terhadap keberlangsungan produksi dan kelestarian orangutan. Ini sama sekali bukan prinsip konservasi,” ungkap Yaya.
Yaya mencontohkan, kawasan hutan yang merupakan habitat orangutan, setelah dibuka menjadi perkebunan sawit akan mengganggu struktur populasi. Hal itu karena saat beralih menjadi perkebunan, induk orangutan dan anaknya tidak bisa berpindah.
”Dalam kondisi itu, anak orangutan bisa kekurangan gizi. Penelitian kami menunjukkan perbedaan berat badan yang sangat tinggi bayi orangtuan di dalam kawasan perkebunan sawit dan di habitat aslinya. Ini mengganggu kelangsungan hidup,” kata Yaya,
Terdesak
Yaya menjelaskan, perangkap ekologis juga merugikan perusahaan, khususnya perkebunan sawit atau pemegang izin hutan tanaman industri (HTI). Penelitiannya menunjukkan, satu orangutan mampu memakan 30 sampai 50 pohon sawit muda per hari.
Saat terdesak karena ketiadaan makanan, orangutan akan memakan sawit. Orangutan juga kerap memakan buah dan umbut pohon bandang (Borrassodendron borneense) yang mirip kelapa sawit muda.
Kegemaran orangutan memakan sawit, tambah Yaya, menjadi faktor masifnya pembunuhan orangutan di ladang sawit. Dahulu kala, perusahaan bahkan membayar orang untuk mengusir dan membunuh orangutan.
”Maka dari itu, perusahaan perlu jujur dan terbuka dalam (menyediakan kawasan) konservasi. Saya melihat masih banyak yang takut untuk konservasi karena ketika kerja sama akan terbuka bahwa di kawasan konsesinya banyak orangutan,” ungkap Yaya.
Desain konservasi di kawasan konsesi, menurut dia, juga harus diubah. Tidak lagi dengan skala kecil yang terpencar, tetapi dijadikan satu dan berlokasi di dekat kawasan lindung atau kawasan konservasi seperti taman nasional.
Menanggapi hal itu, Koordinator Bidang Sustainability dan Pembinaan Masyarakat Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Provinsi Kalteng Suto Suwahyo mengatakan, terdapat 800.000 hektar lebih yang disiapkan oleh 102 anggotanya untuk HCV.
”Kalau perusahaan yang bergabung dengan RSPO itu, kan, wajib, kalau enggak ada itu enggak lulus. Nah, tidak semua anggota Gapki masuk ke RSPO, tetapi kami tetap dorong untuk menyiapkan HCV,” kata Suto.
Kepala BKSDA Provinsi Kalteng Adib Gunawan mengungkapkan, dalam upaya konservasi, pihaknya tidak bisa bekerja sendirian. Ia pun akan terus berupaya untuk bersinergi dengan semua lembaga terkait untuk konservasi.
”Daya tampung tempat pelepasliaran selama ini hanya 350 orangutan, tetapi tetap harus dicari tempat-tempat lain,” ungkap Adib. (IDO)