Pemulihan Sulteng 3 Tahun
Pemerintah Sulawesi Tengah menargetkan pemulihan pascabencana dalam tiga tahun. Hal itu tak terlepas dari kendala, seperti pendanaan dan penyediaan lahan.
PALU, KOMPAS— Pemulihan pascabencana di Sulawesi Tengah ditargetkan selesai dalam tiga tahun. Pemerintah mengantisipasi kendala yang bisa membuat target meleset.
”Meski aturannya dua tahun, kami targetkan pemulihan tiga tahun. Itu bisa meleset, mengingat kami harus merelokasi banyak penyintas,” kata Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola di Palu, Selasa (22/1/2019), seusai dialog publik bertema ”Rehabilitasi dan Rekonstruksi Sulteng Pascabencana”.
Dialog publik diikuti penyintas dan lembaga swadaya masyarakat. Gempa bumi berkekuatan M 7,4 melanda Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong pada 28 September 2018. Gempa disertai tsunami dan likuefaksi itu menyebabkan banyak korban jiwa dan merusak banyak bangunan.
Bagi penyintas tsunami dan likuefaksi, pemerintah menyiapkan lahan relokasi sekaligus membangun hunian tetap. Daerah bekas tsunami dan likuefaksi ditetapkan sebagai zona terlarang untuk hunian dan aktivitas ekonomi.
Longki menyatakan, pembangunan hunian tetap menyita waktu. Tidak hanya pembangunan fisik, tetapi juga pembebasan lahan. Lahanlahan itu berstatus hak guna usaha atau hak guna bangunan (HGU/HGB) perusahaan.
Pemerintah harus menyelesaikan aspek legalitas lahan lebih dulu. Namun, dalam keadaan memaksa, kata Longki, negara bisa menguasai lagi lahan HGU/HGB.
Menurut Longki, dukungan APBN/APBD untuk pemulihan tak bisa maksimal. Hal itu pernah dinyatakan pemerintah pusat sehingga pembangunan dilaksanakan secara bertahap. Karena itu, keterlibatan pihak swasta atau lembaga sosial serta hibah atau pinjaman dari lembaga donor sangat diharapkan.
Empat sektor
Berdasarkan pemaparan pemerintah kabupaten/kota terkait rencana rehabilitasi dan rekonstruksi, Sulteng membutuhkan Rp 40 triliun untuk pemulihan. Dana tersebut untuk empat sektor yang terdampak bencana, yakni permukiman, infrastruktur, sosial-ekonomi, dan sektor lain. Kebutuhan itu diproyeksikan dari total kerusakan atau kerugian akibat gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi yang mencapai Rp 24,06 triliun.
Terkait perbedaan angka itu, Longki menjelaskan, untuk pemulihan, banyak faktor tambahan yang diperhitungkan, terutama terkait kerentanan Sulteng terhadap gempa. Misalnya, pembangunan infrastruktur harus tahan gempa demikian juga rumah atau gedung dan upaya mitigasi.
”Realisasi di lapangan bisa saja lebih kecil. Contohnya, ada swasta yang mengajukan pembangunan hunian tetap. Ada kebutuhan yang tertalangi sehingga anggaran yang keluar berkurang,” katanya.
Ketua Tim Penyusunan Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Sulteng Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suprayoga Hadi mempertanyakan angka yang berubah-ubah.
Awalnya, kerusakan/kerugian yang dilaporkan Rp 22 triliun, lalu berubah menjadi Rp 24 triliun. ”Data kerusakan harus betul-betul diverifikasi karena menjadi acuan untuk rencana induk rehabilitasi dan rekonstruksi,” katanya.
Untuk waktu pemulihan, Suprayoga mengatakan, pemerintah pusat menargetkan dua tahun. Selain dari APBN/APBD, ada juga skema pinjaman lembaga donor.
Saat dialog, Ketua Forum Warga Korban Likuefaksi Balaroa Abdul Rahman Kasim meminta pemerintah menghentikan pembangunan hunian sementara (huntara).
”Daripada pindah ke huntara yang tak beda jauh dengan tenda pengungsian, lebih baik percepat pembangunan hunian tetap. Uang pembangunan huntara bisa diberikan kepada penyintas untuk jaminan hidup,” katanya.
Longki merespons, huntara dibangun untuk alasan kemanusiaan. Hal itu karena pembangunan hunian tetap ditargetkan dua tahun, bahkan lebih lama. ”Pemerintah pasti mengurus semua kebutuhan penyintas, tetapi ada prosesnya,” ujarnya. (VDL)