Bermula dari pertemanan sejak di sekolah menengah pertama di Singaraja, Kabupaten Buleleng, Bali, Putu Eka Darmawan (29) dan Gede Ganesha (30) menjalin kemitraan untuk bersama-sama mengelola Rumah Plastik di Desa Petandakan, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng. Eka dan Ganesha meminggirkan gengsi dengan menjadi pengolah sampah, utamanya sampah plastik, untuk dijadikan bahan baku daur ulang untuk industri pengolahan plastik.
Mereka berencana mengembangkan Rumah Plastik dari skala usaha pengolahan sampah plastik menjadi industri pengolahan plastik sekaligus sebagai tempat edukasi pengelolaan sampah. “Target dalam lima tahun sejak Rumah Plastik dibentuk tahun 2016 adalah menjadi pengolahan sampah plastik sebagai industri,” kata Ganesha ketika ditemui di Rumah Plastik, Buleleng, Rabu (23/1/2019).
Adapun Eka menyebut Rumah Plastik adalah gagasan sekaligus pelaksanaan yadnya (persembahan) untuk alam dan lingkungan. Menurut Eka, bersih dan lestarinya lingkungan menjadi penting karena mempengaruhi kehidupan manusia.
“Kami merancang usaha pengolahan sampah plastik agar limbah menjadi barang yang memiliki nilai ekonomi. Pengolahan sampah plastik tidak hanya dicacah lalu didaur ulang, tetapi juga dapat dikreasikan menjadi bahan karya seni,” ujar Eka, alumnus Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali.
Sejalan dengan aktivitas di Rumah Plastik, Ganesha juga mengembangkan bank-bank sampah di sejumlah desa di Buleleng. Menurut Ganesha, bank-bank sampah menjadi penyuplai bahan baku untuk kemudian diolah di Rumah Plastik. Saat ini, Rumah Plastik masih sederhana, berupa gudang penampungan sampah plastik yang dilengkapi satu unit mesin pencacah berkapasitas 1 ton. Adapun usaha bank sampah sudah dibentuk di Singaraja mencapai 38 unit dan semuanya sudah memiliki nasabah.
Rumah Plastik di Desa Petandakan menjadi bank sampah induk. Melalui Rumah Plastik, Eka dan Ganesha yang dibantu enam pekerja yang memilah dan menyisihkan berkarung-karung sampah plastik, mulai dari gelas plastik, botol plastik, maupun peralatan rumah tangga dari plastik lainnya. Dengan mesin pencacah yang dimiliki, Rumah Plastik menghasilkan cacahan plastik (flake) yang menjadi bahan baku pembuatan pelet plastik.
Masa depan
Eka mengatakan, usaha pengolahan sampah dapat menjadi industri yang memberikan keuntungan, baik keuntungan ekonomi maupun keuntungan sosial. Usaha pencacahan plastik di Rumah Plastik, Desa Petandakan, saat ini mampu menghasilkan pendapatan kotor hingga Rp 80 juta per bulan. Selain itu, Rumah Plastik mempekerjakan enam orang tenaga kerja dari warga di sekitar Desa Petandakan, di antaranya, Ni Ketut Sinarwati (48) dan Luh Serining (38).
“Ketika awal saya membuat Rumah Plastik, saat itu minim dukungan,” kata Eka yang pernah bekerja di kapal pesiar internasional. Apalagi Eka kemudian memutuskan berhenti bekerja di kapal pesiar dan berkonsentrasi menjalankan usaha pengolahan sampah plastik di Rumah Plastik.
Sedikit berbeda dengan Eka, Ganesha menyatakan dirinya dinilai aneh lantaran memilih usaha mengelola bank sampah dan menjalankan Rumah Plastik bersama Eka. Ganesha mengaku sudah lama tertarik dengan isu lingkungan hidup, bahkan aktif dalam gerakan pemuda peduli lingkungan hidup di Buleleng.
“Sebelum membuka Rumah Plastik tahun 2016, saya juga membuat bank sampah di desa tahun 2014,” kata Ganesha yang juga menjabat Direktur Bank Sampah Galang Panji di Desa Panji, Kecamatan Sukasada, Buleleng. Meskipun saat ini Ganesha juga menjadi Ketua Panwaslu Kecamatan Sukasada, Ganesha yang beristrikan Putu Juliartini itu masih rutin mengelola Rumah Plastik bersama Eka.
Kepedulian
Kepedulian terhadap persoalan sampah plastik juga ditunjukkan Navicula, band rock asal Bali yang dikenal sebagai The Green Grunge Gentlemen. Setelah menyampaikan pesan-pesan peduli lingkungan melalui lagu-lagu mereka, Navicula bersama sejumlah komunitas peduli lingkungan, di antaranya, Kopernik dan Akarumput, membuat proyek film edukasi sekaligus hiburan bertajuk “Pulau Plastik”. Proyek film “Pulau Plastik” juga didukung beberapa lembaga, antara lain, The Body Shop, National Geographic, dan Ford Foundation.
Gitaris dan vokalis Navicula Gede Robi Supriyanto (40) mengatakan, proyek “Pulau Plastik” mengangkat cerita proses kolaborasi multipihak, mulai dari masyarakat, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, pengusaha, sampai perusahaan, dalam mengelola sampah secara lebih bertanggung jawab. Serial film “Pulau Plastik” juga menampilkan masalah pengelolaan sampah di Bali dan dampak sampah terhadap lingkungan, khususnya laut.
“Proyek Pulau Plastik ini adalah ajakan untuk bersama-sama mengelola masalah sampah dengan cara yang lebih baik,” kata Robi Navicula ketika ditelepon pada Kamis (24/1/2019). Peluncuran proyek serial film “Pulau Plastik” dijadwalkan pada Jumat (1/2) nanti di kawasan Kuta, Kabupaten Badung, Bali.
Navicula adalah band yang sejak awal dibentuk pada 1996 selalu menyuarakan isu sosial dan lingkungan dalam karya lagu mereka. Dalam album Navicula terbaru berjudul “Earthship” yang diluncurkan 10 November 2018 di Denpasar, Bali, Navicula menyoroti persoalan lingkungan, di antaranya, melalui lagu berjudul “Ibu” dan “Lagu Sampah”.
Navicula mendapat julukan “The Green Grunge Gentlemen” karena band rock asal Bali dan personelnya sangat lekat dengan aktivitas sosial dan lingkungan. Robi juga menyatakan kepercayaannya bahwa seni dapat memberikan inspirasi dan pengaruh kepada publik yang lebih luas, terutama bagi anak-anak muda yang menjadi agen perubahan masa kini dan di masa depan.
Sementara itu, dua remaja yang bersaudara, Melati Wijsen dan Isabel Wijsen, sejak 2013 aktif mengampanyekan pengurangan pemakaian plastik untuk keseharian melalui tim Bye Bye Plastic Bags di Bali. Menurut Co-Founder Bye Bye Plastic Bags sekaligus Koordinator Global BBPB, yang juga ibu dari Melati dan Isabel, Elvira Wijsen, kedua putrinya, Melati dan Isabel, tumbuh dan besar di rumah yang dikelilingi sawah dan berdekatan dengan laut.
“Sejak kecil, mereka sudah memiliki hubungan kuat dengan lingkungan,” tutur Elvira melalui surat elektroniknya ke Kompas.
Menurut Elvira, mereka juga menyebarluaskan kampanye dan gerakan Bye Bye Plastic Bags melalui semua lini media sosial, mulai Instagram, Facebook, maupun Twitter selain melalui pemberitaan media massa. Melalui lini medsos itu, menurut Elvira, gerakan Bye Bye Plastic Bags semakin banyak mendapat dukungan. (COK)