Aktivis Demokrasi Rahman Tolleng Dimakamkan di Bandung
Aktivis demokrasi Rahman Tolleng tutup usia, Selasa (29/1/2019) pukul 05.25. Tokoh pergerakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) 1965-1966 itu wafat pada usia 81 tahun di Rumah Sakit Abdi Waluyo, Jakarta.
Oleh
Tatang Mulyana Sinaga
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Aktivis demokrasi, Abdul Rahman Tolleng, tutup usia, Selasa (29/1/2019) pukul 05.25. Tokoh pergerakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) 1965-1966 itu wafat pada usia 81 tahun di Rumah Sakit Abdi Waluyo, Jakarta.
Almarhum meninggalkan seorang istri, Tati Rahman, dua anak, Virga Rahman dan Erman Rahman, serta tiga cucu. Jenazah pria kelahiran Sinjai, Sulawesi Selatan, 5 Juli 1937, itu dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum Cibarunai, Kota Bandung, Jawa Barat, pukul 14.15.
Erman Rahman mengatakan, ayahnya telah lama menderita komplikasi, di antaranya penyakit jantung, ginjal, dan paru-paru. Senin (28/1) siang, Rahman Tolleng mengeluhkan sesak napas. Keluarga lantas membawanya ke Rumah Sakit Omni, Pulomas, Jakarta.
Menurut Erman, saat itu, jantung ayahnya sempat berhenti. Namun, masih dapat diselamatkan melalui prosedur cardiopulmonary resuscitation (Cpr). Keluarga kemudian membawa Rahman ke Rumah Sakit Abdi Waluyo. Setelah sempat stabil, kondisi Rahman mulai menurun pada pukul 03.00 dan akhirnya meninggal.
”Di akhir hidupnya, beliau masih menunjukkan perjuangan yang luar biasa. Dokter sempat bingung karena detak jantung beliau bisa balik lagi. Jadi, dia sungguh sosok pejuang yang nyata,” ujar Erman.
Di akhir hidupnya, beliau masih menunjukkan perjuangan yang luar biasa.
Erman mengatakan, di lingkungan keluarga, almarhum dikenal sebagai sosok idealis. Keras dalam prinsip, tetapi tetap demokratis dan egaliter.
”Dia selalu mendorong untuk melakukan yang terbaik di bidang masing-masing. Jadi, tidak memaksakan anaknya harus ke kiri atau ke kanan,” ujarnya.
Pemakaman Rahman dihadiri puluhan orang. Hadir pula sejumlah tokoh yang juga rekan almarhum, di antaranya Menteri Eksplorasi Kelautan 1999-2001 Sarwono Kusumaatmadja, mantan Jaksa Agung Marsillam Simanjuntak, advokat senior Albert Hasibuan, dan pengusaha Arifin Panigoro.
Albert mengenal Rahman sebagai sosok konsisten dalam memperjuangkan demokrasi. Almarhum beberapa kali menggagas demonstrasi untuk mengkritik rezim berkuasa. Salah satunya lewat gerakan KAMI ketika mengkritik rezim Orde Lama pada 1965-1966.
”Walaupun tinggal di Bandung, dia sering demonstrasi ke Jakarta. Selain sebagai teman, almarhum juga menjadi guru dan panutan bagi rekan-rekan pergerakan saat itu,” ujarnya.
Rahman sempat menjadi anggota DPR Gotong Royong pada 1968-1971. Dia kemudian bergabung bersama Golkar dan menjadi anggota DPR dari Fraksi Karya Pembangunan (1971-1974). Selain itu, ia juga pernah menjadi Pemimpin Redaksi Suara Karya.
Karier politiknya meredup ketika dituduh terlibat demonstrasi yang menyebabkan kerusuhan sosial pada 15 Januari 1974. Bersama beberapa tokoh lainnya, Rahman ditahan selama 16 bulan, sebelum akhirnya dibebaskan pada Juni 1975.
Albert mengatakan, setelah Rahman dibebaskan, mereka bertemu di Bandung. ”Dia bercerita tentang pengalamannya di tahanan. Dia sama sekali tidak menyimpan dendam kepada rezim saat itu,” ujarnya.
Menurut Albert, Rahman patut dijadikan panutan bagi aktivis demokrasi saat ini. Tidak hanya dalam memperjuangkan demokrasi, tetapi juga kerelaan untuk selalu berbagi ilmu dan pengalaman.
”Bangsa ini kehilangan sosok pejuang yang konsisten memperjuangkan ide-ide kerakyatan dan demokrasi,” ujarnya.
Setelah jenazah Rahman dikebumikan, Marsillam diminta memberi sambutan mewakili teman-teman almarhum. Marsiliam mengatakan, perjuangan almarhum yang selalu mementingkan kehormatan dan martabat akan selalu dikenang.
”Selamat jalan, Bung. Kau akan kami kenang selalu,” ujar Marsillam dengan suara bergetar.