PALANGKARAYA, KOMPAS —Pencurian sapundu atau patung manusia yang dikeramatkan suku Dayak kembali marak. Sembilan sapundu dicuri di Desa Bukit Batu, Kecamatan Cepaga Hulu, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, selama Januari 2019. Patung yang terbuat dari ulin itu bernilai Rp 25 juta hingga Rp 50 juta per buah.
Kepala Kepolisian Resor Kotawaringin Timur Ajun Komisaris Besar Mohamad Rommel menjelaskan, pencurian terjadi di kawasan situs budaya Desa Bukit Batu dan pekarangan rumah penduduk. Polisi masih mengumpulkan bukti-bukti.
”Kami dapat laporan. Ini memang meresahkan karena terjadi di lokasi sama. Kami sedang berupaya menangkap pelakunya,” kata Rommel, Senin (28/1/2019), dihubungi dari Palangkaraya.
Pencurian selama Januari itu, lanjut Rommel, bukan yang pertama. ”Benda ini terbuat dari kayu ulin yang dikenal kuat dan mahal, selain itu juga unik,” katanya.
Pelaku diduga beroperasi malam hari dan mencuri dengan memotong bagian bawah atau mencabut patung yang tertanam di tanah. Dari kasus yang terungkap, patung dipotong menjadi beberapa bagian agar mudah dibawa.
Benda keramat
Bagi masyarakat Dayak, sapundu merupakan benda keramat. Sapundu dibuat hanya saat upacara tiwah atau upacara kematian ketika tulang belulang manusia dimasukkan ke dalam sandung atau rumah kecil dari kayu ulin.
Ketua Majelis Daerah Agama Hindu Kaharingan Kota Palangkaraya Parada Lewis menyatakan, sapundu dibuat disertai doa. Patung ini berfungsi mengikat hewan kurban saat upacara tiwah.
”Mencari kayunya bisa sebulan sebelum acara. Mencarinya pun di hutan, lalu berdoa dulu boleh atau tidak ditebang, setelah itu dipahat dan diukir,” ucap Parada.
Sapundu berbentuk manusia. Jika hewan yang dikurbankan hewan jantan, sapundu dibentuk seperti perempuan. Begitu juga sebaliknya untuk hewan betina.
Di Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Pulang Pisau, pencurian sapundu juga kerap terjadi. Seperti di situs budaya Sandung Temanggung Lawak Sura Jaya Pati yang sudah dibuat sejak 1862. Dua sandung tersisa raib sekitar 15 tahun lalu. Hingga kini, pelakunya belum terungkap.
Yayun (35), penjaga sandung, mengungkapkan, tidak ada lagi sapundu berdiri kokoh di situs budaya yang ia jaga. Kawasan itu 16 kilometer dari permukiman warga sehingga jarang diawasi.
”Sekarang tinggal patung-patung yang baru dibuat saja, tetapi ini bukan sapundu,” kata Yayun. Parada berharap pencuri segera ditangkap dan diadili. ”Tak hanya hukum pidana, tetapi juga hukum adat. Itu pelanggaran adat paling berat karena merusak situs adat Dayak,” ujarnya. (IDO)