PALEMBANG, KOMPAS — Pada awal tahun 2019 ini, tiga penderita demam berdarah di Sumatera Selatan meninggal. Walau demikian, Sumsel belum menetapkan status kejadian luar biasa karena belum ada daerah yang mengajukan. Masyarakat diharapkan waspada dan menjaga lingkungannya, terutama sepanjang musim hujan yang diperkirakan akan terjadi sampai April.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan Fery Yanuar, Selasa, (29/1/2019), menjelaskan, sepanjang Januari 2019, sedikitnya ada 395 kasus demam berdarah, tiga di antara penderita meninggal. Penderita yang meninggal ada di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, dan Kabupaten Musi Banyuasin.
Fery mengatakan, walau sudah ada pasien yang meninggal, Sumatera Selatan belum menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) dikarenakan belum ada usulan dari kabupaten kota terkait hal tersebut.
Data sementara menunjukkan, kasus terbanyak demam berdarah terjadi di Kota Palembang, yakni 99 kasus, disusul Banyuasin dengan 42 kasus, dan Ogan Komering Ulu Timur dengan 41 kasus.
Adapun pada 2018 terdapat 2.396 kasus DBD dengan jumlah korban meninggal mencapai 26 orang. Korban jiwa terbanyak ada di Kota Lubuk Linggau dengan 10 korban meninggal.
Oleh karena itu, Fery meminta masyarakat agar waspada dengan menjaga lingkungannya tetap bersih. ”Penyakit sangat mudah menyebar karena faktor lingkungan dan di lokasi yang banyak genangan air,” ucapnya.
Penyakit sangat mudah menyebar karena faktor lingkungan dan di lokasi yang banyak genangan air.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kota Palembang Fauzia mengatakan, walau menjadi kota dengan penderita terbanyak pada tahun 2019 ini, pihaknya belum menetapkan KLB. Itu karena jumlah kasus dibandingkan periode yang sama tahun 2018 tidak mengalami kenaikan signifikan.
Selain itu, kasus kematian juga tidak melebihi 1 persen. Di sepanjang tahun lalu, jumlah kasus fatal juga belum melebihi 1 persen.
Walau demikian, ungkap Fauzia, pihaknya terus berupaya melakukan pencegahan dengan sejumlah program, mulai dari satu rumah satu jumantik, dan juga jumatik cilik yang digalakkan di sekolah-sekolah. ”Sekolah menjadi tempat yang menjadi prioritas karena anak berusia 5-14 tahun paling rentan terjangkit DBD,” katanya.
Program ini akan terus digalakkan, terutama pada periode rentan DBD, yakni selama musim hujan yang diperkirakan akan terjadi hingga April mendatang. ”Namun karena DBD adalah penyakit endemik, jadi risiko penyebaran masih tetap ada di sepanjang tahun,” ujar Fauzia.