Tantangan Besar untuk Bisnis Perkantoran di Surabaya
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Bisnis properti terutama perkantoran di Surabaya, ibu kota Jawa Timur, diyakini tumbuh pesat pada 2019-2021. Namun, di sisi lain, berbagai tantangan besar juga diamini akan menghadang bisnis perkantoran, antara lain persaingan, pertumbuhan ekonomi, dan daya beli masyarakat.
Pertumbuhan properti terlihat dari pembangunan gedung-gedung pencakar langit untuk perkantoran, apartemen, hotel, dan pusat belanja. Ada 68 proyek properti yang mulai dibangun atau pembangunannya diteruskan dalam kurun 2019-2021.
Menurut catatan Colliers International, konsultan properti global, dalam jumpa pers di Surabaya, Rabu (30/1/2019), untuk sektor perkantoran akan mengalami penambahan 240.000 meter persegi (m²) ruang baru sampai akhir 2021. Jika dirata-rata, pertumbuhan ruang kantor baru di Surabaya 80.000 m² per tahun.
Namun, menurut Ferry Salanto, Senior Associate Director Research Indonesia Colliers International, kemampuan pasar Surabaya menyerap ruang kantor baru hanya 12.000 m² per tahun. Dengan demikian, akan terjadi ledakan pasok perkantoran baru.
Sampai dengan akhir 2018, stok ruang kantor di Surabaya mencapai 341.000 m². Dengan tambahan proyek baru, stok ruang kantor pada akhir 2021 akan menjadi 581.000 m². Jika seluruh proyek tetap terlaksana, sedangkan daya serap tetap 12.000 m², maka 240.000 m² ruang kantor baru yang dibangun sampai tiga tahun mendatang akan habis diserap dalam dua periode.
Apa saja tantangan atau penghambat sektor perkantoran untuk tumbuh dan terjual? Menurut analisis Colliers International, antara lain persaingan dengan rumah toko, pertumbuhan ekonomi yang berkisar 5 persen, dan perusahaan besar dengan kemampuan keuangan mapan hingga mantap memilih membangun sendiri kantor daripada sewa atau membeli produk perusahaan properti lain.
Tenant-tenant usaha di Surabaya terutama dengan skala menengah lebih tertarik menyewa atau membeli rumah toko daripada unit di gedung pencakar langit sebagai kantor sekaligus tempat usaha. Biaya sewa atau beli rumah toko dianggap lebih rendah daripada unit di gedung tinggi meski dari sisi lokasi boleh jadi kalah strategis.
”Jika proyek properti ingin terserap tinggi, perlu ditunjang dengan pertumbuhan ekonomi yang jauh di atas 5 persen,” kata Ferry dalam pemaparannya.
Selain itu, usaha-usaha skala nasional dan internasional yang berkantor pusat atau cabang di Jakarta perlu membuat ekspansi usaha ke Surabaya dengan menyewa atau membeli ruang kantor baru. Jika tidak, akan sulit pasar perkantoran terserap atau ludes terjual.
Jika proyek properti ingin terserap tinggi, perlu ditunjang dengan pertumbuhan ekonomi yang jauh di atas 5 persen.
Tingkat huni perkantoran di Surabaya pada kurun 2016-2018 sebenarnya cukup baik, yakni kisaran 75-79 persen. Namun, tahun ini dengan pasokan baru yang mencapai 100.000 m² dan daya serap rendah, tingkat huni diprediksi terjun ke kisaran 61-64 persen. Di sisi lain, harga jual gedung kantor juga sudah tinggi, yakni kisaran Rp 30 juta-Rp 40 juta per m².
”Berbagai kondisi tadi akan menyulitkan pemilik properti menaikkan harga sewa atau harga jual,” ujar Ferry.
Padahal, salah satu langkah bisnis dalam properti adalah pembelian dengan tujuan investasi. Ada yang membeli ruang kantor baru untuk disewakan atau dijual kembali. Langkah investasi kemungkinan belum akan berbuah baik dalam kurun 2019-2021, yakni pasok baru tetap besar, sedangkan daya serap tidak progresif. Kondisi itu tentu akan memengaruhi harga sewa.
Di mana saja lokasi perkantoran baru yang sedang dibangun? Surabaya Barat menjadi yang terdepan dengan pasok baru hampir 104.000 m² oleh Voza Office Tower, Spazio Tower, Satoria, dan Capital Square (40.000 m²).
Selanjutnya adalah Surabaya Utara dengan kontribusi Pelindo Place (54.000 m²). Berikutnya adalah Surabaya Pusat dengan pasok baru 51.800 m² oleh Praxis dan Pakuwon Tower (40.000 m²). Surabaya Timur menyumbang 32.000 m² lewat proyek One Galaxy.