MANADO, KOMPAS — Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara meminta masyarakat tidak lagi memelihara satwa liar dilindungi. Selain menimbulkan risiko hukum, hal itu juga berisiko bagi keselamatan diri.
Kepala Subtata Usaha Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut Hendriks Rundengan, di Manado, Rabu (6/2/2019), mengatakan, warga yang memelihara satwa liar berisiko bagi keamanan diri dan masyarakat. Oleh karena itu, warga harus segera melapor apabila memiliki satwa liar.
Hendriks menyebutkan, peristiwa pada pertengahan Januari lalu, ketika seekor buaya memangsa manusia di kolam penangkaran di Tanawangko, Kabupaten Minahasa, harus menjadi pembelajaran bagi semua pihak. ”Jangankan pelihara buaya, memelihara anoa saja harus ada izin presiden,” ujarnya.
Izin dari presiden, lanjut Hendriks, menunjukkan pentingnya memelihara keberlangsungan keanekaragaman hayati satwa liar di Indonesia. Banyak satwa liar kini populasinya terus menurun, bahkan beberapa di antaranya terancam punah.
Aturan mengenai satwa liar dilindungi dicakup dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7/1999. Dalam peraturan tersebut, terdapat 238 jenis satwa liar yang mendapat perlindungan dari negara mengingat populasinya berkurang.
Pelanggaran terhadap peraturan tersebut terancam sanksi hukum 5 tahun penjara dan denda uang Rp 100 juta.
Kampanye mengenai perlindungan satwa liar di Sulut cukup berhasil setelah sejumlah warga menyerahkan satwa liar peliharaannya kepada BKSDA Sulut. Satwa yang diserahkan mulai dari jenis burung hingga buaya.
Ramdan Makalalag, warga Kabupaten Bolaang Mongondow, mengatakan telah memberi tahu BKSDA Sulut terkait seekor buaya yang ditemukan warga di sungai. ”Warga menangkap buaya itu saat berada di tepi sungai, sekarang dipelihara di sebuah kolam milik warga,” ucapnya.
Permasalahan klasik upaya konservasi anoa di Anoa Breeding Centre adalah keterbatasan anggaran.
Beberapa waktu lalu, BKSDA Sulut juga mendapat laporan mengenai penangkapan anoa di hutan Bolaang Mongondow dan diserahkan ke BKSDA Sulut.
BKSDA Sulut memiliki tempat penangkaran anoa, yakni Anoa Breeding Centre (ABC), di Manado. ABC Manado diresmikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Februari 2015.
Di sana terdapat kandang-kandang dengan berbagai ukuran dan tumbuhan pakannya. Terdapat 7 anoa yang terdiri dari 2 ekor jantan dan 5 ekor betina.
Menurut Hendriks, permasalahan klasik upaya konservasi anoa di ABC adalah keterbatasan anggaran. Padahal, konservasi itu memerlukan banyak biaya untuk penyediaan fasilitas kesehatan satwa, sumber daya manusia, pakan, dan penunjang lain.