Saat Taman Menjelma Jadi Ruang Keluarga
Taman-taman di Surabaya tak hanya berfungsi sebagai ruang publik. Lebih dari itu, taman menjelma menjadi ”ruang keluarga” untuk berinteraksi dan membangun toleransi.
Hanifah (19) baru saja tiba di Taman Bungkul, Sabtu (26/1/2019) malam. Sesaat kemudian ia mengeluarkan gawainya untuk merekam video ajakan kepada teman- temannya, lalu mengunggahnya ke media sosial Instagram. ”Halo gaes, kita lagi di Taman Bungkul. Ayo segera ke sini,” ucapnya.
Mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di Surabaya, Jawa Timur, itu pun menanti kedatangan teman-temannya. Taman Bungkul dijadikan tempat nongkrong pertama sekaligus tempat berkumpul sebelum berkeliling ke tempat-tempat lain. ”Tempatnya enak buat ngobrol, lokasinya strategis,” ucapnya.
Hanifah adalah satu dari ratusan pengunjung di Taman Bungkul. Tak ada pertunjukan atau acara khusus pada malam itu. Namun, taman seluas 14.517 meter persegi ini hampir selalu dipenuhi pengunjung.
Bahkan, saat akhir pekan selalu penuh sesak pengunjung. Untuk berjalan pun harus berhati-hati dan sesekali harus memiringkan badan karena hampir tak ada sudut taman yang kosong.
Beragam aktivitas dapat dilakukan di Taman Bungkul. Sekelompok anak muda, misalnya, sibuk dengan gawai, bermain gim ramai-ramai. Ada pula yang memanfaatkan taman untuk tempat berkumpul komunitas pencinta binatang.
Persis di depan pos keamanan, ada beberapa pengunjung yang antre untuk dipijat oleh tunanetra yang dikoordinasi oleh Dinas Sosial Surabaya.
Di sudut lain, sekumpulan anak bermain skate board, sepatu roda, futsal, atau bercengkerama bersama keluarga. Salah satunya Sudirman (43), warga Ketintang, yang datang bersama lima anggota keluarganya untuk menghabiskan Minggu malam.
Berbekal makanan yang dibawa dari rumah, mereka menggelar tikar di area taman untuk makan lesehan. Sedangkan anak-anaknya bermain gelembung sabun yang dibeli dari pedagang kaki lima.
”Suasana di taman sudah seperti rumah. Tempatnya nyaman untuk bercengkerama dan anak-anak bisa bermain dengan gembira tanpa khawatir menghabiskan banyak uang,” kata Sudirman.
Taman Bungkul salah satu dari 416 taman yang paling ramai dikunjungi masyarakat. Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan penghargaan The 2013 Asian Townscape Award (ATA) untuk kategori Taman Terbaik Se-Asia.
Taman ini dilengkapi fasilitas Wi-Fi gratis, tempat bermain skate board, BMX, jogging track, lapangan futsal, panggung pertunjukan, dan pusat jajanan.
Semua taman di Surabaya selalu dijaga oleh petugas Satpol PP selama 24 jam setiap hari dan dipasangi kamera pemantau (CCTV). Luas total 416 taman di Surabaya mencapai 122 kilometer persegi atau 34 persen dari luas kota.
Titik balik pembuatan taman di kota dengan penduduk 3,2 juta jiwa ini berawal dari alih fungsi 13 stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) pada 2009 menjadi taman yang indah.
Beberapa dari taman di sana dibuat bertema, misalnya Taman Lansia, Taman Paliatif, Taman Lalu Lintas, dan Taman Kunang-Kunang. Selain menjadi ruang publik, taman juga digunakan untuk lokasi pengobatan gratis, seperti di Taman Lansia dan Taman Paliatif.
Kegiatan pengobatan gratis di kedua taman itu berlangsung Sabtu dan Minggu pagi. Pengunjung bisa mendapatkan pemeriksaan kesehatan gratis, antara lain pemeriksaan tensi, gula darah, asam urat, kolesterol, mata, dan kejiwaan.
Mishijah (57), warga Darmo, Kecamatan Wonokromo, bersama kelompok posyandu lansia di wilayahnya rutin memeriksakan kesehatan di Taman Lansia setiap bulan. Kegiatan itu dilakukan pada Minggu pagi seusai senam di sana. Di taman ini ada pula tempat refleksi batu untuk telapak kaki.
”Pemeriksaan kesehatan di Taman Lansia lebih cepat dibandingkan dengan puskesmas yang antreannya panjang,” kata Soekarno (81), warga Dinoyo.
Menjadi spirit
Dosen Fakultas Industri Kreatif Universitas Ciputra, Surabaya, Freddy H Isnanto, menilai, taman berdesain tematik di Surabaya tak hanya sekadar nama, tetapi juga menjadi spirit masyarakat.
Pengunjung tidak hanya dibawa dalam keindahan visual, tetapi juga diajak memahami persoalan yang coba diselesaikan melalui taman.
”Suasana yang dihadirkan di taman mampu memberikan pembelajaran kepada masyarakat. Metode ini lebih efektif karena menghadirkan interaksi aktif masyarakat,” katanya.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini berkomitmen terus menambah jumlah taman karena menjadi salah satu bagian untuk membuat kota lebih sejuk. Sebagai kota yang terletak di pesisir pantai, suhu udara mulai berangsur turun, yakni dari 34 derajat celsius menjadi 32 derajat celsius.
Setiap taman tidak hanya ditanami satu jenis pohon. Hal itu agar masyarakat bisa lebih variatif dalam menikmati taman. ”Suatu saat Surabaya akan menjadi kota kupu-kupu karena tanaman di seluruh taman sangat beragam sehingga jenis kupu-kupu juga akan lebih banyak,” kata Risma.
Mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya itu menambahkan, Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau Surabaya terus menanam pohon berbunga lain, yakni sakura dan jacaranda, di sepanjang jalanan utama.
”Ini bunga sakura betulan dan bunga jacaranda. Nanti di beberapa tempat juga ditanam yang warnanya ungu semua,” ujarnya.
Penanaman bunga dilakukan sejak tahun lalu. Butuh waktu dua tahun hingga tanaman tersebut berbunga. ”Sudah banyak sakura, tapi memang belum semua berbunga. Mudah-mudahan setahun lagi. Nanti saya ajak ngomong segera berbunga,” ujar Risma yang mengaku selalu berbicara dengan tanaman.
Bagi ibu dari dua anak ini, taman tidak hanya tempat berkumpul masyarakat. Taman juga menjadi tempat keluarga melepas penat seusai bekerja. Maka, hampir semua taman sepanjang hari ada saja pengunjungnya.
”Pengunjung tidak ada yang bersitegang karena semua merasa memiliki taman. Kehadiran masyarakat juga membuat taman benar-benar hidup,” katanya.
Taman-taman di Surabaya memiliki beragam fungsi, antara lain pendidikan, sosial, interaksi, kesetaraan, dan kesehatan.
Ada semangat berbagi yang terjadi di taman karena setiap pengunjung mengutamakan toleransi dan semangat berbagi. Capaian ini diapresiasi Setara Institute yang menempatkan Surabaya pada urutan ke-10 kota toleran di Indonesia.