AMBON, KOMPAS— Kepulauan Maluku diguncang gempa bumi hingga 2.490 kali sepanjang tahun 2018. Namun, tingginya intensitas gempa itu belum diimbangi kesiapan warga menghadapi kemungkinan terburuk.
Berdasarkan data yang dihimpun pada Jumat (8/2/2019), Kepulauan Maluku digoyang gempa hingga 1.587 kali dan Maluku Utara 903 kali.
Gempa terbesar di Maluku Utara mencapai M 7,1. Sementara gempa terbesar di Maluku hingga M 6,6. Rangkaian kejadian gempa itu belum memicu tsunami.
Meski dikepung gempa hingga ribuan kali dalam setahun, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Geofisika Ternate Kustoro Hariyatmoko mengatakan, masyarakat di kedua provinsi itu belum dibekali pengetahuan bencana yang ideal.
”Hal itu disebabkan minimnya sosialisasi bencana. Akibatnya, warga sering kali mudah termakan isu dan berita tidak benar,” katanya.
Kondisi ini rentan berakibat fatal. Kustoro mengatakan, kini hampir 3 juta orang tinggal di Maluku dan Maluku Utara. Sebagian besar dari mereka tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil yang rawan terimbas gempa dan tsunami.
”Warga butuh pendampingan hidup bersama bencana agar siap menghadapi bencana suatu saat nanti,” katanya.
Enggan pulang
Minimnya pengetahuan warga terjadi lagi di Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara, Kamis (7/2) malam. Setelah guncangan gempa M 5,2 pada pukul 19.03 WIT, warga kocar-kacir. Hal itu dipicu isu tsunami yang bakal menerjang 11 desa. Warga lantas beramai-ramai mengungsi ke perbukitan.
Anggota staf Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Morotai, Kusnadi, mengatakan, pihaknya sudah menyampaikan imbauan kepada warga melalui camat, kepala desa, dan aparat keamanan. Warga sudah diminta kembali ke rumah masing-masing.
Akan tetapi, tidak semua mau pulang. Sebagian lainnya memilih tinggal dan mendirikan tenda di dataran tinggi.
Kondisi serupa pernah terjadi di sejumlah daerah lain di Maluku dan Maluku Utara. Pada Januari 2019, ribuan warga di Labuha, Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara, mengungsi ke bukit yang tinggi. Penyebabnya, warga lagi-lagi termakan adanya isu tsunami setelah gempa.
Sebelumnya, kejadian serupa juga terjadi di Pulau Ambon, Maluku, November 2017. Warga Kecamatan Leihitu juga mengungsi ke bukit akibat isu yang sama.
Selain minim pengetahuan menghadapi bencana, sarana mitigasi juga tidak ideal. Jumlah sirene peringatan tsunami masih kurang.
Di Maluku, sirene peringatan tsunami dibangun di Pulau Ambon dan Pulau Banda. Namun, alat yang sama belum tersedia di Maluku Utara.
Menanggapi hal itu, Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana BPBD Provinsi Maluku John Hursepuny mengatakan, warga di pesisir banyak yang mulai sadar ancaman tsunami. Mereka terbiasa langsung mengungsi ketika merasakan guncangan gempa besar.
John selalu mengingatkan warga agar tak bergantung pada alat deteksi tsunami. ”Alat bisa saja rusak,” katanya. (FRN)