PONTIANAK, KOMPAS — Demam berdarah dengue merebak juga di Kalimantan Barat. Sejak Januari hingga minggu kedua Februari 2019 terdapat 371 kasus. Dari jumlah itu, empat orang di antaranya meninggal dunia yang terdapat di Kabupaten Ketapang sebanyak 2 orang, Sanggau 1 orang, dan Kubu Raya 1 orang.
Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat Viktorius, Senin (11/2/2019), mengatakan, kasus terbanyak ada di Ketapang, yakni 150 kasus. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, secara keseluruhan di Kalbar ada 377 kasus, 3 orang di antaranya meninggal dunia.
Angka kesakitan (incidence rate/IR) DBD pada 2017 sebesar 65,27 per 100.000 penduduk dan pada 2018 sebesar 62,69 per 100.000 penduduk. Angka itu di atas standar IR nasional, 49 per 100.000 penduduk.
”Sementara itu, dari sisi laju kematian (case fatality rate/CFR) justru menurun. Pada 2017 ada 1,12 per 100 kasus dan pada 2018 ada 0,86 per 100 kasus. Angka kematian ini bisa menurun karena adanya kecepatan penanganan,” papar Viktorius.
Wilayah endemik DBD di Kalbar sekarang ini terdapat di semua kabupaten/kota, yakni 14 kabupaten/kota sejak lima tahun terakhir. Padahal, sebelumnya hanya wilayah pesisir yang endemik DBD. Hal ini dipicu adanya anomali cuaca. Curah hujan semakin tidak menentu.
”Ditambah lagi, kesadaran dari masyarakat belum memadai untuk memelihara kebersihan lingkungannya. Masih banyak yang belum menguras bak mandi, mengubur barang-barang bekas, dan menutup penampungan air,” ungkapnya.
Kemudian, juru pemantau jentik (jumantik) juga baru ada di sembilan kabupaten/kota dari 14 kabupaten/kota yang ada, yakni di Kota Pontianak dan Singkawang, Kabupaten Sanggau, Sintang, Kubu Raya, Mempawah, Sambas, Kapuas Hulu, dan Kayong Utara. Daerah yang kasus DBD tinggi, yakni Ketapang, justru belum memiliki jumantik.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Pontianak Sidiq Handanu mengatakan, kasus DBD di Pontianak kecenderungannya meningkat. Pada 2015 ada 60 kasus, pada 2016 ada 70 kasus, tahun 2017 ada 100 kasus, dan pada 2018 terdapat 300 kasus. Kasus pada Januari 2019 minggu pertama tujuh kasus, minggu kedua ada dua kasus, dan minggu ketiga ada lima kasus.
”Faktor kesadaran masyarakat masih menjadi tantangan. Masih banyak yang belum memiliki kesadaran dalam menjaga lingkungannya. Ditambah lagi curah hujan yang meningkat kecenderungannya,” papar Sidiq.
Siklus DBD di Pontianak biasanya kasusnya meningkat pada September-Oktober-November-Desember. Akhir tahun biasanya menjadi puncak. Pada Januari sudah mulai menurun, tetapi tidak boleh lengah. Kesiapsiagaan tetap dilakukan.
Kader kesehatan dikerahkan pula untuk memantau jentik nyamuk. Kader kesehatan di Pontianak tersebar di 23 puskesmas. Setiap puskesmas terdapat 10 kader kesehatan. Mereka juga tersebar di 29 kelurahan. Kader kesehatan setiap tiga bulan sekali melakukan pemantauan.
Fogging atau pengasapan sudah dilakukan sebelum masa penularan, yakni Agustus-September, di lingkungan dan di sekolah-sekolah. Namun, itu hanya efektif dalam waktu singkat. Yang paling utama sebetulnya bagaimana kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan. Hal itu yang masih memerlukan kerja keras.
Daerah endemik di Pontianak pada umumnya yang padat penduduk, yakni Kecamatan Pontianak Barat dan Pontianak Kota. Saat air pasang, sampah-sampah akan tersebar ke berbagai sisi sehingga mengotori lingkungan dan menjadi tempat nyamuk berkembang biak.