PSI Serukan Perlawanan terhadap Kaum Nasionalis Gadungan
Oleh
Haris Firdaus
·4 menit baca
BANTUL, KOMPAS – Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie menyerukan perlawanan terhadap pihak-pihak yang disebutnya sebagai nasionalis gadungan. Mereka adalah orang-orang dan partai politik yang mengaku nasionalis tetapi bungkam saat terjadi praktik intoleransi dan juga terlibat tindak pidana korupsi.
Seruan tersebut disampaikan Grace dalam pidato politik pada acara Festival 11 Yogyakarta, Senin (11/2/2019) malam, di Jogja Expo Center, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. “Bro dan Sis, siap menyingkirkan para nasionalis gadungan?” tanya Grace kepada para kader PSI yang hadir dalam acara tersebut.
Dalam pidatonya, Grace menyampaikan ada dua pihak yang menjadi ancaman utama terhadap persatuan bangsa Indonesia, yakni kelompok intoleran dan para koruptor.
“Ancaman terbesar persatuan Indonesia hari ini datang dari dua arah. Pertama dari kaum intoleran yang setiap hari menjajakan kebencian serta menghalang-halangi dan bahkan menyerang orang menjalankan keyakinannya. Kedua, dari para koruptor yang melemahkan persatuan, membuat kita semua, kaum nasionalis moderat, menjadi tidak percaya satu sama lain,” katanya.
Yang mengkhawatirkan, saat ini juga ada kecenderungan normalisasi intoleransi atau menganggap praktik intoleransi sebagai sesuatu yang biasa.
Grace menyatakan, salah satu masalah terbesar di Indonesia kini, kian banyaknya praktik intoleransi. Misalnya dalam bentuk penyerangan terhadap kelompok yang berbeda keyakinan, penutupan tempat-tempat ibadah, serta meluasnya ceramah yang berisi kebencian. Yang mengkhawatirkan, kata dia, saat ini juga ada kecenderungan normalisasi intoleransi atau menganggap praktik intoleransi sebagai sesuatu yang biasa.
“Normalisasi intoleransi adalah sebuah gejala di mana masyarakat semakin menganggap intoleransi sesuatu yang normal saja akibat meluasnya kampanye kultural yang mengajak orang hanya berpikir secara biner. Apakah hitam atau putih, apakah kamu kaum kita atau kamu musuh kita?” ujar Grace.
Sayangnya, menurut Grace, saat menghadapi gejala semacam itu, orang-orang nasionalis moderat yang ada di partai-partai politik lama justru memilih bungkam. Sikap itu muncul karena partai-partai politik tersebut tidak ingin kehilangan konstituen.
“Menghadapi gelombang yang kian membesar itu, kaum nasionalis moderat lebih memilih cara aman. Tujuannya hanya untuk kepentingan elektoral semata,” tuturnya.
Grace menyebut, mereka yang mengaku nasionalis tetapi diam dan bahkan mendukung tindakan intoleransi pantas disebut sebagai nasionalis gadungan.
“Nasionalis gadungan adalah orang-orang yang ngakunya nasionalis, tetapi ikut-ikutan meloloskan perda-perda agama yang diskriminatif. Nasionalis gadungan tidak berani bersuara ketika menyaksikan rumah-rumah ibadah ditutup di depan mata mereka,” ungkapnya.
Tak akan diam
Grace mengingatkan, hak untuk beragama dan menjalankan ibadah dijamin konstitusi. Namun, berdasarkan laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tahun 2017, salah satu persoalan hak asasi yang paling menonjol dalam 5 tahun terakhir justru berkait dengan masalah pendirian rumah ibadah.
“Setara Institute mencatat, selama 11 tahun terakhir, terjadi 378 gangguan terhadap rumah ibadah di seluruh Indonesia. Situasi ini makin buruk karena pejabat, birokrat, dan politisi daerah memanfaatkan menguatnya sentimen SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) dengan cara melayani sikap intoleran masyarakat,” kata Grace.
Grace menyatakan, PSI tidak akan diam saja melihat gejala normalisasi intoleransi. Oleh karena itu, apabila PSI diberi amanah masuk ke DPR, partai tersebut akan berjuang agar tidak ada penutupan rumah ibadah secara paksa.
“Partai Solidaritas Indonesia akan menjadi sayap politik kaum nasional dan kaum moderat yang ingin mengembalikan toleransi di negeri ini. Kita percaya kampanye toleransi harus diwujudkan dalam gerakan politik parlementer,” tuturnya.
Untuk mewujudkan hal itu, Grace memaparkan, PSI akan menempuh tiga cara, yakni mendorong deregulasi aturan dalam pendirian rumah ibadah, mencegah lahirnya undang-undang dan peraturan daerah (perda) yang diskriminatif, dan mendorong aparat keamanan serta birokrat lebih tegas menghadapi kasus-kasus intoleransi.
“Bagaimana mungkin orang bisa bersatu kalau dia merasa dikhianati, kalau uang pajaknya secara sistematis dicuri dan dikorupsi oleh orang yang mengaku sebagai wakilnya?”
Korupsi
Di sisi lain, Indonesia juga masih menghadapi persoalan korupsi yang tidak hanya merugikan negara dan warga, tetapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap dunia politik. Menurut Grace, selama masih ada anggota DPR yang bertindak korup, masyarakat sulit percaya terhadap proses politik praktis.
“Bagaimana mungkin orang bisa bersatu kalau dia merasa dikhianati, kalau uang pajaknya secara sistematis dicuri dan dikorupsi oleh orang yang mengaku sebagai wakilnya?” katanya.
Oleh karena itu, Grace juga menjuluki para koruptor sebagai nasionalis gadungan. “Jadi kalau ada orang yang menyebut dirinya nasionalis, tapi di belakang masih saja mencuri uang rakyat, mereka lebih pantas disebut nasionalis gadungan. Nasionalis gadungan adalah partai-partai yang ngakunya nasionalis, tetapi secara rutin mengirim kader-kadernya untuk ‘sekolah’ di KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),” ungkapnya.