JEMBER, KOMPAS— Keberadaan pertambangan emas dinilai belum tentu memberikan keuntungan bagi masyarakat Silo di Jember, Jawa Timur. Perkebunan dinilai masih menguntungkan karena kondisi lahan masih sangat produktif.
Penilaian itu disampaikan dosen ekologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Jember, Hari Sulistiyowati, dan Dekan Fakultas Teknik Universitas Jember Entin Hidayah saat ditemui pada Selasa (12/2/2019). Hingga saat ini Universitas Jember memang belum pernah melakukan kajian mengenai kandungan mineral dan potensi tambang di lokasi Blok Silo.
Namun, keputusan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencabut Wilayah Izin Usaha Pertambangan dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus di Blok Silo, seperti diberitakan Kompas (11/2/2019), dinilai keputusan yang tepat. Sebelumnya, penolakan terhadap tambang emas di Silo gencar disampaikan warga dan Bupati Jember Faida.
Menurut Hari, kondisi lahan di Silo masih sangat produktif untuk perkebunan. Hal itu tampak dari tutupan area di Silo yang masih sangat rapat. ”Tingkat fertilitas (kesuburan) juga cukup tinggi.
Daya erosivitas (kekuatan ikatan tanah) cukup kuat sehingga tidak mudah larut terbawa air. Bahkan, produktivitas tanaman yang tumbuh di sana juga sangat baik. Silo itu lahan perkebunan produktif,” ujarnya.
Ia menilai, usaha perkebunan juga lebih berkelanjutan daripada usaha pertambangan. Saat kebun tidak produktif lagi, upaya peremajaan bisa dilakukan. Sementara usaha tambang jika sudah habis biasanya akan ditinggal begitu saja.
Saat tidak ada lagi material yang bisa ditambang, pertambangan akan berakhir dan masyarakat yang bergantung pada tambang tidak akan mendapat apa pun.
Masyarakat akan kehilangan mata pencarian, sementara lingkungan bekas tambang akan rusak dan tidak sesubur sebelum ada pertambangan.
”Lebih baik masyarakat dan pemerintah mempertahankan komoditas kopi di Silo. Jadikan kopi Silo sebagai salah satu identitas Jember,” kata Hari.
Sejauh ini, perkebunan di sana memiliki dampak positif terhadap lingkungan. Dalam 1 hektar area perkebunan minimal terdapat 500 tegakan pohon kayu keras.
Setiap pohon rata-rata bisa menyerap karbon hingga 28,2 kg per hari dan memproduksi oksigen 20,4 kg per hari. Jadi, setiap hektar lahan perkebunan di sana bisa menghasilkan oksigen 10,2 ton per hari dan menyerap emisi karbon hingga 14,1 ton per hari.
”Di Silo ada 4.023 hektar yang masuk wilayah pertambangan. Andai 50 persen lahan pertambangan dipertahankan sebagai wilayah perkebunan, dalam sehari mereka bisa menyuplai oksigen 20,4 juta ton per hari.
Jumlah itu bisa memenuhi kebutuhan oksigen harian untuk 24 juta orang atau setara seluruh penduduk Benua Australia atau 62 persen penduduk Jawa Timur,” kata Hari.
Target reduksi karbon
Selain itu, luasan lahan tersebut juga mampu mengurangi emisi hingga 28 juta ton karbon per hari atau jauh di atas target penurunan emisi dalam Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 67 Tahun 2012 tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Jawa Timur, yakni 6 juta ton dalam periode 2013-2020.
Sementara itu, Entin berpendapat, diperlukan kajian untuk menghitung kelayakan lingkungan, ekonomi, dan sosial di sana. ”Kalau pertambangan menyebabkan kegundulan bukit, tentu akan berdampak pada penurunan muka air tanah. Bahkan, bisa menyebabkan banjir, berkurangnya daerah resapan air, dan lain sebagainya,” ucapnya. (GER)