WAINGAPU, KOMPAS— Demam berdarah dengue di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, awal tahun ini telah merenggut nyawa delapan pasien. Pada periode itu, ada 335 kasus DBD di Sumba Timur dan pemerintah daerah setempat menetapkan status kejadian luar biasa.
”Hampir 80 persen (dari pasien DBD) adalah anak-anak berusia di bawah 17 tahun. Kelompok anak usia ini jarang memakai selimut saat tidur dan tidak pernah menggunakan kelambu.
Selain itu, masyarakat juga kurang peduli dengan lingkungan sekitar sehingga membiarkan genangan air di mana-mana, termasuk di rumah tangga,” kata Danny Christian, Direktur Rumah Sakit Imanuel Waingapu di Sumba Timur, saat dihubungi pada Rabu (13/2/2019).
Pasien DBD di Sumba Timur dirawat di tiga rumah sakit. RSU Imanuel merawat 102 pasien. Meski beberapa pasien sampai mengalami pendarahan, semua bisa diselamatkan. Pasien lainnya dirawat di RSK Lindimara (88 pasien, tiga di antaranya meninggal) dan di RSUD Umbu Rara Meha (145 pasien, lima di antaranya meninggal).
Kurang peduli
Bupati Sumba Timur Gideon Mbilijora mengatakan, pihaknya telah menetapkan kasus DBD itu sebagai kejadian luar biasa (KLB). Kini, pemerintah daerah gencar melakukan fogging atau pengasapan di lokasi-lokasi tertentu yang dinilai rawan menjadi tempat berkembang biak nyamuk Aedes aegypti yang membawa virus DBD. Selain fogging, masyarakat diajak membersihkan lingkungan.
Ia mengatakan, masyarakat sejatinya sudah paham tentang upaya mencegah berkembangnya jentik nyamuk Aedes aegypti itu dengan cara menguras penampungan air dan mengubur barang-barang yang menimbulkan genangan. Jika ada genangan air di sekitar rumah, segera dialirkan atau ditimbun.
Namun, diakui Mbilijora, kebanyakan masyarakat bersikap masa bodoh dan kurang peduli terhadap genangan air itu. ”Kami kembali menggerakkan program menguras, menanam, dan menutup.
Ini cara mencegah yang sudah lama disuarakan, tetapi rupanya masyarakat belum sadar betul. Pada setiap kesempatan, kami terus dorong masyarakat untuk peduli terhadap masalah kesehatan ini,” kata Mbilijora. (KOR)