Harga Komoditas Tak Membaik, Petani Kalbar Terpuruk
PONTIANAK, KOMPAS — Satu per satu komoditas perkebunan rakyat di Kalimantan Barat terpuruk karena harga yang terus anjlok. Setelah harga karet yang anjlok menjadi Rp 5.000-Rp 6.000 per kilogram, kini kondisi itu juga menerpa komoditas lada yang menjadi unggulan masyarakat di wilayah perbatasan. Nasib petani pun kian terpuruk.
Anjloknya harga karet sudah terjadi 10 tahun terakhir. Kalaupun ada masa-masa kenaikan harga, hanya berlangsung beberapa minggu. Itu pun hanya naik Rp 1.000-Rp 2.000 per kilogram (kg), setelah itu anjlok lagi.
Florianus (40), petani karet di Kabupaten Ketapang, Kamis (14/2/2019), mengungkapkan, hingga kini petani karet belum juga menikmati harga karet yang layak. Petani menginginkan harga karet setidaknya Rp 10.000 per kg.
”Harga karet masih berkisar Rp 5.000-Rp 6.000 per kg. Kondisi ini masih membuat ekonomi kami sulit. Kami tidak tahu juga apa yang menyebabkan harga karet sulit untuk pulih. Padahal, masih ada yang bergantung pada karet,” kata Florianus.
Berdasarkan data Sensus Karet 2015-2017, setidaknya ada 264.328 keluarga petani di Kalbar yang bergantung pada komoditas karet.
Akibat anjloknya harga, semakin banyak petani yang tidak mengurus kebun karetnya. Pohon-pohon karet milik warga sudah lama tidak disadap sehingga batangnya ditumbuhi lumut.
Efredi (50), petani karet di Kabupaten Sanggau, juga merasakan hal serupa. Dia masih menggantungkan hidupnya dari karet meskipun harga belum ideal. Dampak anjloknya harga membuat ia kesulitan untuk mendaftarkan anaknya ke perguruan tinggi.
”Sejak anak saya SMP hingga tamat SMA, saya dan istri penuh perjuangan bertahan dengan harga karet yang anjlok. Sering kali mereka tidak ada uang jajan dan menunggak uang sekolah. Apalagi kini untuk kuliah, sulit,” kata Efredi.
Sejak awal 2018, harga lada perlahan turun hingga kini mencapai titik terendah. Kami juga tidak tahu apa penyebabnya.
Nasib yang sama kini juga menimpa komoditas lada. Martinus Iwan (30), petani lada di Kecamatan Entikong, perbatasan Indonesia-Malaysia, mengatakan, harga lada hitam anjlok dari semula Rp 103.000 per kg menjadi Rp 20.000 per kg. Begitu pula harga lada putih yang anjlok dari Rp 170.000 per kg menjadi Rp 50.000 per kg.
”Penurunannya berkisar 70-80 persen. Anjloknya harga lada sudah terjadi sejak 2018. Sejak awal 2018, harga lada perlahan turun hingga kini mencapai titik terendah. Kami juga tidak tahu apa penyebabnya,” ujar Iwan.
Kini, Iwan sudah tidak terlalu bergantung pada lada lagi sebab hasil panen tidak bisa menutup biaya produksi. Iwan juga tidak mengganti tanaman yang mati dengan yang baru. Ia tidak memiliki semangat lagi menanam lada.
Petani pun mulai mencari alternatif dengan menanam sayuran dan rempah-rempah lain seperti jahe. Jahe masih bisa dijual Rp 30.000 per kg. Para petani mencoba bertahan dengan tanaman itu. Ada juga yang bertanam terong asam seharga Rp 30.000 per kg yang dijual ke Malaysia.
Namun, ada pula yang bertahan seperti Stefanus (49), petani lain di perbatasan. Ia fokus pada lada putih karena selain harganya masih relatif lebih tinggi daripada lada hitam, juga bisa disimpan dalam jangka waktu lama. Stok baru dijual saat harga kembali naik.
Menurut Mustadin (40), penampung lada di perbatasan, harga anjlok karena stok berlimpah. Hal itu menyusul masa panen di negara-negara penghasil lada, antara lain Vietnam dan Brasil. Stok yang ada di gudang Mustadin juga belum terjual.
Luas tanam lada di Kalbar saat ini 8.030 hektar. Dari luasan itu, 80 persen berada di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia dengan jumlah produksi sekitar 4.000 ton per tahun.
Selain harga, petani lada juga mengalami masalah produktivitas. Produktivitas lahan lada Kalbar saat ini baru mencapai 800 kg per hektar per tahun. Angka itu masih rendah dibandingkan dengan target nasional, yakni 2 ton per hektar per tahun.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura, Pontianak, Eddy Suratman menilai, masalah pada komoditas perkebunan rakyat karena faktor kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap komoditas itu. Selain itu, belum ada upaya serius menyelesaikan masalah. Padahal, banyak petani yang bergantung pada komoditas tersebut.
Pejabat yang menangani komoditas itu juga banyak yang tidak kompeten di daerah. Akibatnya, program yang dijalankan tidak ada yang berjalan baik. Hal itu membuat masalah pada komoditas perkebunan rakyat terus berlarut sampai sekarang ini.
Sebagai contoh, aspek kelembagaan petani sebetulnya memegang peranan penting dalam program peremajaan. Namun, petani di pedalaman, khususnya di sentra karet dan lada, sebagian besar masih berusaha sendiri-sendiri tanpa kelompok. Upaya menangani aspek itu belum terlihat dan perlu menjadi perhatian.
Pemerintah terus berupaya memperbaiki harga komoditas. Namun, masih secara bertahap.
Selain itu, perlu juga pembenahan menyeluruh dari hulu, tata niaga, hingga di hilir. Di hulu memerlukan peremajaan, sementara aspek tata niaga perlu diatur agar rantai pasokan tidak terlalu panjang. Adapun pada sektor hilir perlu disiapkan industri pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah. Jangan sampai mengekspor komoditas mentah terus.
Kepala Dinas Perkebunan Kalbar Florentinus Anum, dalam acara Sosialisasi Peraturan Gubernur Nomor 63 Tahun 2018 tentang Sawit beberapa waktu lalu, mengatakan, pemerintah terus berupaya memperbaiki harga komoditas. Namun, masih secara bertahap. Pemerintah mengatur dulu mulai dari tata niaga sawit.
Untuk karet, hingga sejauh ini belum ada rencana untuk peremajaan. Dana masih difokuskan untuk peremajaan sawit. Kemudian, untuk lada, pemerintah terus berupaya mengembangkan komoditas tersebut. Rencana makro pengembangan lada di Kalbar totalnya 50.000 hektar. Realisasi saat ini baru sekitar 8.030 hektar. Program ini sedang dalam proses.