PALEMBANG, KOMPAS — Petani kesulitan memenuhi syarat untuk mendapatkan dana peremajaan sawit rakyat. Petani terpaksa menunda peremajaan dan tetap mengelola tanaman sawit berusia tua.
Direktur Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Herdrajat Natawijaya di Palembang, Rabu (13/2/2019), mengatakan, masalah perizinan dan legalitas lahan sawit milik petani swadaya menjadi kendala untuk penyaluran dana.
Tahun 2018 diajukan rekomendasi teknis 25.122 hektar, yang diterima 12.622 hektar dari 6.415 petani. Padahal, target peremajaan lahan 185.000 hektar. Pada 2017, rekomendasi teknis yang diajukan 10.754 hektar, yang diterima 2.938 hektar untuk 1.409 petani. Target peremajaan 20.000 hektar.
Lambannya realisasi peremajaan karena beberapa syarat belum terpenuhi. Yang utama terkait legalitas lahan petani swadaya dan kurangnya dana yang dimiliki petani untuk mencukupi selisih biaya peremajaan.
Masih ada petani yang belum memiliki sertifikat hak milik dan sertifikat kepemilikan tanah (SHM/SKT). Padahal, dua sertifikat itu menjadi syarat yang harus dipenuhi.
Selain itu, untuk mendapatkan dana peremajaan sawit rakyat (PSR) perlu ada dana yang disiapkan petani. Herdrajat mengatakan, bantuan PSR yang diterima petani Rp 25 juta, tetapi biaya peremajaan sawit lebih dari Rp 45 juta per hektar.
Untuk mencukupi, petani bisa menggunakan tabungan pribadi atau pinjaman bank. Untuk itu, BPDPKS bekerja sama dengan sejumlah bank.
Sistem pengajuan rekomendasi teknis juga akan dipermudah lewat daring pada 2019. Salinan (38), petani sawit asal Kecamatan Pulau Rimau, Kabupaten Banyuasin, mengatakan sangat membutuhkan bantuan pemerintah.
Empat hektar lahan sawitnya sudah berusia 27 tahun. Namun, ia kesulitan mengajukan rekomendasi teknis dan tak punya modal cukup.
Bupati Kabupaten Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin mengatakan, legalitas masih menjadi kendala. Untuk itu, pihaknya menurunkan nilai jual obyek pajak agar petani mampu mengurus SHM/SKT.
Dari Jambi dilaporkan, kebijakan pemerintah menghapus pungutan ekspor minyak sawit mentah menggairahkan kembali harga dan aktivitas industri minyak sawit di daerah.
Meski demikian, harga di tingkat petani masih rendah. Di Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, buah sawit di pabrik Rp 1.400 per kg. Namun, di tingkat petani, buah sawit berusia 10 tahun hanya dihargai Rp 1.000 per kg. Selisih Rp 400 per kg tidak dinikmati petani.
Menurut Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Provinsi Jambi Usman Ermulan, hal itu akibat panjangnya rantai perdagangan. Pemerintah perlu menegaskan agar pihak pabrik membeli langsung sawit dari petani. (RAM/ITA)