BANDA ACEH, KOMPAS — Penelitian minyak nilam di Aceh terus dorong untuk meningkatkan produktivitas dan menghasilkan sejumlah produk turunan dari minyak nilam. Penelitian dilakukan oleh para peneliti Atsiri Research Center Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, terhadap komoditas nilam di Kabupaten Aceh Jaya, Aceh.
Ketua Atsiri Research Center (ARC) Universitas Syiah Kuala Saifullah Muhammad, Selasa (19/2/2019), saat menerima kunjungan tim Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, menuturkan, saat ini Universitas Syah Kuala (Unsyiah) sedang melakukan penelitian kultur jaringan untuk mencari bibit unggul. Kehadiran bibit unggul sangat penting agar minyak yang dihasilkan lebih banyak.
Saifullah mengatakan, tanaman nilam milik petani di Aceh Jaya, misalnya, saat ini dalam 1 hektar hanya mampu menghasilkan 150 kilogram minyak. Padahal, seharusnya bisa menghasilkan hingga 200 kilogram.
Selain itu, minyak nilam yang dihasilkan petani melalui penyulingan tradisional berkualitas rendah dan berwarna hitam. Padahal, jika disuling dengan metode yang baik, minyaknya lebih bening.
”Kualitas minyak akan berpengaruh pada harga. Kami melakukan riset dari hulu ke hilir untuk membantu petani mengembangkan produk nilam,” kata Saifullah.
Pihaknya berharap penelitian bibit unggul rampung pada tahun ini. Setelah itu, ARC akan melakukan uji tanam di lahan seluas 10 hektar milik Unsyiah. Pada 2021 diharapkan bibit unggul sudah bisa didistribusikan kepada petani.
Adapun riset di bagian hilir yang dilakukan ARC ialah menciptakan sejumlah produk turunan nilam, seperti parfum, aroma terapi, sabun, dan pewangi ruangan. Produk tersebut masih dalam tahap pengembangan. Ke depan, produk bisa dipasarkan.
Saifullah menuturkan, banyak produk turunan nilam yang bisa dibuat. Selama ini, petani hanya menjual minyaknya kepada perusahaan luar negeri. Padahal, lanjutnya, secara bisnis perusahaan lokal dapat mengembangkan produk turunan nilam.
”Saat ini, setiap tetes minyak nilam Aceh sudah memiliki pembeli. Ada praktik kartel di tata niaga nilam. Melalui riset-riset ini, kami ingin mendorong petani mandiri dan melahirkan perusahaan lokal,” ujarnya.
Aceh memiliki riwayat panjang sebagai daerah penghasil minyak nilam terbaik di dunia. Sejak zaman penjajahan Belanda, Aceh telah menghasilkan minyak nilam.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik Aceh, luas lahan nilam di Aceh mencapai 2.817 hektar dengan produksi minyak nilam 758 ton per tahun. Adapun harga minyak nilam saat ini Rp 600.000 per kilogram.
Persoalan yang terjadi di lapangan, petani nilam tidak serius mengelola lahan karena tidak ada transfer ilmu kepada petani untuk meningkatkan produksi. Harga minyak nilam juga sepenuhnya dikuasai kartel. ”Petani tidak punya kuasa menentukan harga nilam sendiri,” kata Saifullah.
Kepala Seksi Industri Material Maju Direktorat Inovasi Industri Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi Iskandar menuturkan, sejak 2017 dan 2018, kementerian telah membantu ARC dengan anggaran Rp 1,2 miliar. Bantuan itu berupa pengadaan alat penyulingan dan peralatan riset.
Tahun ini, ARC diberi peluang untuk mengajukan proposal pengembangan riset dan produksi produk turunan nilam. Oleh sebab itu, kata Iskandar, pihaknya akan mendukung penuh riset-riset yang dilakukan Unsyiah. ”Unsyiah serius melakukan riset nilam. Kami ingin nilam dunia berpusat di Indonesia sehingga kita bisa mengatur tata niaga nilam,” katanya.